Mohon tunggu...
Muhamad Habib Koesnady
Muhamad Habib Koesnady Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Teater

Mempelajari Seni

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Ternyata Joker itu Anak STM

1 November 2019   11:30 Diperbarui: 1 November 2019   11:33 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: https://www.artstation.com/artwork/RYZqNA

Sementara itu, ternyata kondisi Kota Gotham---tempat kisah ini terjadi---semakin tidak kondusif. Peristiwa pembunuhan ketiga orang di kereta, yang ternyata adalah pegawai Wall Street, menjadi inspirasi para demonstran yang menolak pencalonan Thomas Wayne sebagai Walikota Gotham. Sedangkan, Thomas---yang juga merupakan tokoh penting Wall Street---mengucapkan dukacita mendalam bagi kematian mereka. Kematian mereka bertiga diamplifikasi media karena ada perhatian lebih dari Calon Walikota Thomas Wayne. Demonstran di Kota Gotham melakukan demonstrasi dengan menggunakan topeng Joker.

Saat itu, Kota Gotham pun dipenuhi "Joker" yang sedang melakukan demonstrasi. Demonstrasi besar bahkan membuat Kota Gotham menjadi kacau. Sementara kota sedang kacau, Joker asli mendatangi Murray Frangklin Talk Show untuk membuat tayangan komedi di televisi. Di perjalanan, ia diikuti oleh dua orang polisi yang telah lama mencurigainya. Ia lari dan masuk ke dalam kereta. Di dalam kereta, kedua polisi itu kebingungan karena banyak Joker-demonstran. Secara tidak sengaja, polisi membunuh seorang demonstran, dan kedua polisipun akhirnya dikeroyok hingga kritis oleh para demonstran. Joker bisa bebas dan menghadiri Murray Frangklin Talk Show.

Awalnya, acara Murray berjalan dengan lancar. Sampai pada acara tersebut Joker menyatakan pengakuannya bahwa ialah yang membunuh ketiga orang di dalam kereta. Dalam acara tersebut, Joker juga menyampaikan bahwa ia menolak kerakusan orang-orang kaya. Ia juga menyatakan bahwa Murray hanya memanfaatkan dirinya untuk diejek, untuk mendapatkan tertawaan dari penonton. Sampai Joker memberikan "lawakan terbaiknya" yakni membunuh Murray Frangklin dalam siaran televisinya sendiri. Murray gagal "membunuh" Joker dan yang terjadi adalah sebaliknya: Joker membunuh Murray. Setelah itu, Joker menari di depan kamera dan mengarahkan kamera ke arahnya, meminta semua menyaksikan dirinya, menyaksikan lawakan terbaiknya. Menyaksikan dirinya meledak.

Gambar: http://www.gracemelia.com/2019/10/review-joker-yang-bikin-drained.html 
Gambar: http://www.gracemelia.com/2019/10/review-joker-yang-bikin-drained.html 
Setelah menonton Film Joker, saya jadi teringat banyak peristiwa yang pernah saya saksikan. Masih jelas betul di ingatan saya, praktik kekerasan yang dilakukan banyak orang tua kepada banyak anaknya. Di dalam gang-gang sempit, para orang tua yang dililit kesulitan ekonomi, seolah tidak punya cara lain untuk "mendiamkan" anak-anaknya selain dengan cara-cara kekerasan. Anak-anak itu diancam untuk tetap diam dan menurut pada orang tua. Jika tidak, maka ancaman kekerasan (fisik maupun psikis) adalah hal yang biasa.

Saya masih ingat betul seorang kawan yang minta uang untuk menyewa PlayStation mesti dipukuli oleh orang tuanya yang tidak mempunyai anggaran untuk anaknya bermain (menyewa PS). Atau seorang teman kecil yang bercita-cita ingin menjadi pemain bola, namun mesti kandas karena tidak pernah didukung oleh para orang tua dan malah mendapatkan kekerasan psikis seperti: "main bola terus, mau jadi apa?". Ketika ia sedang bermain bola, ia kerapkali dimarahi dan disuruh pulang untuk "belajar". Karena menurut orang tuanya, main bola bukanlah belajar. Sedangkan, belajar adalah mempersiapkan diri untuk pelajaran-pelajaran (ilmu pasti) di sekolah. Hingga akhirnya ia begitu membenci sekolah. Saya teringat hal-hal tersebut, ketika terbongkar sebuah fakta bahwa Penny Fleck kerap menganiaya Arthur sejak kecil. Saya teringat hal-hal tersebut ketika dalam catatan lawak Arthur, ia menyatakan bahwa ia membenci sekolah. Baginya kebenciannya terhadap sekolah adalah sebuah komedi.

Sama seperti Joker, teman-teman saya bertumbuh. Masa remaja adalah masa yang paling rentan karena fungsi fisik, pikiran & perasaan mulai sempurna seperti manusia dewasa. Dalam keremajaan, saya melihat banyak paradoks terjadi. Misalnya, kawan yang bercita-cita jadi pemain sepak bola, sudah kehilangan cita-citanya sejak lama. Cita-cita tersebut sudah hancur sejak dalam pikiran. Mungkin, definisi cita-cita sudah hilang entah ke mana. Cita-cita mungkin jadi hanya semacam dongeng masa kanak-kanak. Jika boleh disederhanakan, cita-cita hanya berubah menjadi tujuan-tujuan jangka pendek.

Jika sebelumnya cita-cita adalah tujuan jangka panjang yang agak utopis nan penuh bumbu-bumbu dongeng, pada masa remaja cita-cita itu berubah menjadi tujuan jangka pendek yang paling realistis nan membahagiakan. Cita-cita yang relevan bukan lagi jadi pemain sepak bola, melainkan menjadi preman di satu sekolah. Kebahagian bukan lagi ketika dapat memenangkan pertandingan, tapi ketika berhasil mengalahkan lawan dengan cara-cara kekerasan. Komedi bukan lagi sesuatu yang dapat membahagian semua orang. Komedi telah berubah menjadi bully. Menganiaya adalah cara untuk mendapatkan komedi, untuk mencapai kebahagiaan. Pikiran ini terstimulasi ketika saya melihat beberapa remaja mem-bully Arthur. Mereka mengambil papan "Everything Must Go!!", memukul Arthur dengan papan tersebut, menganiaya Arthur hingga tak berdaya dan pergi dengan bahagia. Itulah kebahagiaan.

Gambar:https://dafunda.com/movie/todd-phillips-jelaskan-mengapa-joker-terlalu-banyak-menari/
Gambar:https://dafunda.com/movie/todd-phillips-jelaskan-mengapa-joker-terlalu-banyak-menari/

Entah mengapa, motivasi untuk mencapai kebahagiaan tersebut seolah dapat diakomodir oleh STM. Banyak yang "bercita-cita" masuk STM bukan karena ingin belajar teknik, tapi justru ingin merealisasikan diri pada "kebahagiaan" dalam kekerasan. Seolah, STM adalah ruang yang ideal untuk melakukan hal tersebut. Seolah, mereka "janjian" masuk STM untuk melakukan hal tersebut. Seolah, STM menjadi ekosistem dalam dunia kekerasan tersebut. Dalam film Joker, tidak dijelaskan Joker berasal dari "STM" mana. Tapi, saya melihat ada gejala yang sama antara Joker dengan Anak STM. Hidup dalam kesulitan ekonomi, keluarga dengan pendidikan yang rendah, lingkungan yang rentan kekerasan, mengalami diskriminasi kelas, dsb. Dalam hal mengekspresikan diri, Joker punya cara yang berbeda dengan Anak STM.

Jika Anak STM banyak menggunakan cara kekerasan dalam mengekspresikan dirinya, Joker sebaliknya, ia justru menggunakan lawakan untuk mengekspresikan diri dari tekanan psikologisnya---walaupun lawakannya tetap saja lawakan gelap yang berasal dari pengalamannya terhadap kekerasan. Meskipun Joker & Anak STM awalnya punya cara yang berbeda dalam mengekspresikan ketertekananannya, namun mereka memiliki akhiran yang sama dalam meledakan tekanan psikologisnya. Mereka meledak begitu saja ketika tekanan itu sudah semakin mendesak. Dengan gegabah, saya berkesimpulan bahwa anak yang tumbuh dalam budaya kekerasan fisik dan tekanan psikologis yang berat akan melahirkan Joker.

Mungkin, jika film Joker buatan Indonesia, judul filmnya bukan Joker, melainkan "Anak STM". Karena, setelah selesai menonton filmnya, saya merasa film tersebut merupakan cerminan kondisi Indonesia saat ini. Film tersebut seperti menyuarakan ungkapan yang tidak tersuarakan oleh media-media mainstream di Indonesia. Dalam hal ini, saya membandingkan siaran-siaran komedi Murray Frangklin itu tak ubahnya seperti siaran-siaran politisi di televisi mainstream. Tidak ada isu yang menarik diangkat oleh media mainstream, kecuali isu tersebut diangkat oleh para politisi. Saya mengingat ini ketika Thomas Wayne memberi perhatian pada tiga orang pertama yang dibunuh Joker. Lalu, media bertugas mengamplifikasi isu yang diangkat oleh Thomas Wayne tersebut hingga menjadi viral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun