Mohon tunggu...
Abban Said
Abban Said Mohon Tunggu... Guru Madrasah Aliyah Negeri 3 Bantul

Guru bahasa yang suka sastra

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Gaduh dan Aduh

15 Oktober 2025   23:42 Diperbarui: 15 Oktober 2025   23:45 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Santri Pondok Pesantren

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) gaduh memiliki arti rusuh dan gempar karena perkelahian (percekcokan dan sebagainya); ribut; huru-hara. Sedangkan dalam KBBI aduh bemakna kata seru untuk menyatakan rasa heran, sakit, dan sebagainya. Dua kata tersebut hampir sama tulisan dan pelafalannya. Namun dua kata itu bisa berkesinambungan. Dalam konteks tertentu kata gaduh dapat diiringi kata aduh. Kejadian yang menggemparkan dapat menimbulkan rasa heran.

Hal demikian bisa kita temukan baru-baru ini dalam dua kejadian menggemparkan yang terjadi di Indonesia. Satu kejadian tentang pewartaan pesantren oleh media nasional terkemuka. Kejadian lain yaitu mogok masal siswa di sekolah. Impak dari kedua kejadian itu meluas ke segala penjuru negeri. Banyak yang pro dan tidak sedikit yang kontra.

Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia pendidikan, saya mencoba melihat dari kaca mata yang sedikit berbeda. Saya mendukung  pendidikan yang inklusif dan majemuk. Di sekolah, di madrasah, di pesantren, di surau, di balai, di rumah, di masjid, di alam, bahkan di tempat yang tidak disangka bisa menjadi tempat belajar bagi seluruh manusia yang bernafas. Ilmu agama, ilmu umum, ilmu kesehatan, ilmu perbintangan, ilmu pertukangan, ilmu perairan, dan segala multikotomi keilmuan menjadi hidangan lezat untuk saya santap.

Pesantren bukan tempat asing bagi saya. Mulai dari mengaji diniyah, kitab kuning, Al Qur'an, dan nahwu pernah saya pelajari. Meskipun hanya menjadi santri kalong, paling tidak saya pernah mencicipi kelezatan ilmu agama di lingkungan pesantren. Pernah pula selama 8 tahun menjadi guru yang mengajar ilmu di sekolah yang berbasis pesantren. Tentu ilmu bidang yang saya kuasai yaitu bahasa indonesia sesuai tupoksi. Ditambah sudah 6 tahun dan masih berjalan mengajar di madrasah aliyah yang separuh siswanya merupakan santri pondok pesantren di sekitar.

Kalau berbicara mengenai kegaduhan yang terjadi di dunia pendidikan, baik pesantren maupun sekolah, barangkali itu menjadi peristiwa yang patut untuk direnungkan bersama. Bukan menjadi keheranan menimbulkan "aduh" bagi pelaku pendidikan. Sekolah yang seharusnya merupakan kawah candradimuka bagi pembelajar justru malah menjungkalkan pahlawan yang dikenal tanpa tanda jasa. Sistem hukum dan sistem pendidikan semestinya saling berkelindan. Yang terjadi malah sebaliknya. Terburai, tercerai berai, dan tidak ada titik temu untuk mempersatukannya.

Di dunia pesantren lebih parah lagi. Banyak stigma pondok pesantren merupakan tempat yang tidak prestisius bagi masyakarat umum. Mereka cenderung beranggapan bahwa pondok pesantren dengan segala isinya (kiyai, ustad, guru, santri, gedung, sarana prasarana) lekat dengan kesederhanaan. Memang betul. Sesuai teladan yang diajarkan Rasulullah Saw. Namun, perlu dipahami bahwa kesederhaan bukan berarti kemiskinan, kekurangan, kelemahan, dan ketidakberdayaan. Justru kesederhanaan merupakan kekuatan yang berasal dari batin dan jiwa yang suci.

Rasulullah meneladankan kesederhanaan dalam kehidupan. Bukan berarti Rasulullah miskin, lemah, tidak berdaya. Rasulullah kaya, kuat, dan gigih. Sejak kecil diasuh oleh dua lelaki hebat; kakek dan pamannya. Seorang yatim piatu yang masih anak-anak dididik mandiri dengan berdagang dan membagun relasi. Hasilnya, pada usia 25 tahun menjadi milyader kaya raya. Buktinya Rasulullah menikahi Siti Khadijah dengan mas kawin 20 ekor unta dan emas setara 350 gram.

Pondok pesantren di seluruh Indonesia harus menggaungkan semangat Rasulullah dalam menjadi pribadi yang kuat, gigih, dan kaya. Keteladan seperti itu jarang didoktrinkan secara periodik dan masif di kalangan pesantren. Sehingga muncul stigma buruk di masyarakat; kiyai naik alphard sedangkan santri naik "celeng" (alat angkut pertukangan). Kerja bakti pengabdian mulia yang masyhur di kalangan pesatren dengan istilah "ro'an" menjadi semacam perbudakan moderen di kalangan netizen.

Miris bukan?

Sebenarnya ujung pena ini masih lancip, masih sanggup merangkai ribuan kata untuk menjadi bahan diskusi kita bersama. Ide atau gasasan berjubel di pikiran berkecamuk dan berdesakan ingin keluar. Maka izinkan saya menutup tulisan ini dengan menarik garis merah tentang ironi dunia pendidikan di Indonesia. Perlawanan terbaik untuk kritikan, masukan, bahkan hinaan dan makian yaitu dengan pembuktian terbalik. Kritik bagi dunia pendidikan yang karut marut perlu ditata ulang sistem dan manajemennya. Ditata bukan berarti diganti. Kekurangan dan keburukan yang terjadi di dunia pendidikan perlu dibenahi dan diperbaiki. Oknum nakal yang menggerogoti kepercayaan masyarakat harus dibina dan dievaluasi. Kekompakan pelaku pendidikan di Indonesia dalam menjaga marwah perlu dipelihara dan dirawat sebagai modal utama. Semoga pendidikan Indonesia, baik di sekolah maupun pesantren, bisa kembali menjadi barometer dunia seperti masa-masa kejayaan Nusantara silam. Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun