Masih ingat dalam ingatan Muhammad Rizieq bin Hussein Shihab atau akrab disapa dengan Habib Rizieq Shihab (HRS) ketua Front Pembela Islam (FPI) saat berangkat ke Arab Saudi (KSA) pada 26 April 2017 untuk melaksanakan umrah bersama keluarga. Umrah itu disebut sebagai pelepas nazar atas kekalahan Ahok dalam Pilgub DKI 2017 lalu.
Juru bicara FPI saat itu, Slamet Ma'arif dalam keterangan persnya pada 29 April 2017 mengatakan tujuan HRS ke KSA adalah untuk beribadah sebagai wujud syukur atas kemenangan ummat Islam. Slamet menambahkan kepergian HRS cuma seminggu saja. "Beliau sedang umrah, rencananya Rabu (3/5) pekan depan sudah tiba di Indonesia," ujarnya sebagaimana dikutip dari Republika.
Pada saat kepergiannya ulama kondang tersebut sedang dihadapi sederet gugatan yang rasanya tak dapat disebutkan dalam artikel ini. Hingga kini ucapan juru bicara FPI tersebut di atas tidak menjadi kenyataan.
Faktanya, Rizieq telah 2 tahun lebih tidak kembali ke tanah air hingga visanya dinyatakan habis (overstay) pada 21 Juli 2018. Sebanyak 17 kasus menghunjam ke arah HRS. Kepergiannya ke KSA (akhirnya) lebih terkesan misterius "Pengecut.." kata orang-orang yang membencinya.
HRS pernah mengunjungi Malaysia pada 5 Mei 2017 untuk mengurus urusan disertasinya pada Universitas Sains Islam Malaysia. Setelah urusan selesai Habib dan keluarganya tidak pulang ke Indonesia melainkan menuju ke KSA kembali.
Sejak kepergian ke KSA dalam berbagai persoalan kontroversial menghunjam dirinya, praktis Habib mengepakkan sayapnya dengan berbagai cara. Meski melaksanakan tugas utama yakni memberi dakwah, belajar dan silaturrahmi dengan berbagai tokoh agama nasional dan dunia HRS juga melakukan manuver politik selama di KSA menyokong dengan terang benderang "perjuangan" paslon 02 pada saat itu untuk meraih kemenangan.
Akibat overstay, Habib disebutkan tidak bisa pulang ke Indonesia sebelum membayar denda lebih dahulu sebesar Rp 110 juta per orang. Untuk ukuran HRS masalah biaya tentu tidak jadi soal. Yang jadi soal justru pembayaran denda itu baru dapat dilaksanakan setelah ada klarifikasi pemerintah Indonesia tidak ada masalah hukum di negara asalnya. Artinya jika ada masalah hukuman maka pembayaran denda overstay di KSA tidak akan dapat dilakukan.
"Jika ada masalah hukum meski bayar denda, ya, tetap saja enggak bisa keluar sebelum selesaikan masalahnya," ujarnya. sebagaimana diutarakan oleh Agus Maftuh Abegebriel, Dubes Indonesia untuk Arab Saudi.
HRS dan keluarga bisa jadi tidak perlu membayar denda jika mendapat program pengampunan (amnesty) dari kerajaan Arab Saudi. Tetapi hal itu tetap menggagalkan kepulangannya jika pemerintah Indonesia menyatakan ada pelanggaran hukum dilakukan HRS sebagaimana diutarakan di atas. Mempertimbangkan menjaga hubungan baik dengan Indonesia tampaknya tipis kemungkinan KSA menyetujui kebijakan ini.
Apabila tidak mampu membayar denda maka HRS akan dideportasi ke Indonesia dengan catatan ditahan lebih dahulu selama 6-10 bulan di KSA sebelum dideportasi secara paksa ke Indonesia.
Jadi, membayar atau tidak membayar denda kepulangannya ke Indonesia merupakan keharusan menurut aturan imigrasi KSA. Artinya cepat atau lambat Habib dan keluarga mesti pulang ke Tanah Air, kecuali ada negara ketiga (misal Turki, Uni Emirat Arab atau Qatar) bersedia menerima Habib dan keluarganya.
Jika itu terjadi (ke negara ketiga) tampaknya pemerintah Indonesia tidak mengambil pusing. Justru pemerintah Indonesia menjadi pusing jika Habib pulang ke Tanah Air karena di satu sisi pemerintah harus tegas menegakkan kedaulatan dan kepastian hukum bagi dan pada siapapun yang melanggarnya
Di sisi lain, pelanggaran hukum yang dituduhkan pada HRS memaksa entitas lain yang merasa telah dilecehkan akan menuntut tokoh tersebut agar diadili demi keadilan dan tegaknya supremasi hukum.
Terlihat betapa dilematisnya pemerintah menerima atau menolak kepulangan HRS ke Tanah Air. Oleh karenanya ketika muncul isu tentang rencana kepulangannya akibat overstay, denda dan rekonsiliasi nasional sikap pemerintah (dalam hal ini Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko) kurang semangat terhadap rencana HRS tersebut.
"Ya pulang sendiri saja. Kalau enggak beli tiket, tar baru gua beliin," kata Moeldoko di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa, 9 Juli 2019, ujarnya sebagaimana dikutip dari sini.
Sementara itu, Arya Sinulingga juru bicara Tim Kaampanye Nasonal (TKN) Jokowi- Ma'ruf memberi keterangan "Habib Rizieq itu kan tidak pernah diusir dari Indonesia, dia itu ya pergi sendiri, kalau mau pulang, ya pulang aja, enggak ada masalah kok," katanya.
Berdasarkan situasi dan kondisi di atas, tampaknya penyikapan yang diambil pemerintah adalah:
- Meski dilematis dan kurang bergairah pemerintah terpaksa menerima kedatangan HRS
- Meski sifatnya bukan barter apalagi tekanan dari Prabowo kepulangan HRS menjadi salah satu skala prioritas terlaksananya rekonsiliasi.
- Meski diterima kepulangannya dengan catatan ada niat baik HRS mengubah mainstraimnya dalam beberapa sikap kontroversial yang telah menjeratnya secara hukum.
- Mempertimbangkan statusnya sebagai tokoh masyarakat, ulama dan punya simpatisan atau pengikut massal tampaknya kehadiran HRS kembali di Indonesia akan diterima
- Pemerintah akan memilih konsep win-win solution demi terciptanya iklim stabilitas politik, hukum dan keamanan guna menggulirkan roda perekonomian pemerintahan Jokowi Jilid 2.
Pemerintah mungkin akan mengambil jurus selamat daripada menghabiskan energi memikirkan manuver politik HRS, terpaksa harus menerima kepulangannya dengan catatan harus ada perubahan cara dan pandangan HRS terkait berbagai tindakan kontroversial yang telah didakwakan padanya.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H