Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Para Pencetus Pemilu Serentak 2019 Lihatlah "Pahlawan Pemilu" Kita

22 April 2019   09:20 Diperbarui: 24 April 2019   20:38 1444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
9 Hakim konstitusi pemutus Pemilu Serentak 2019 (ari/detikcom)

Dari Sabang  sampai Merauke dari Miangas sampai Pulau Rote, Pemilihan Umum (Pemilu 2019) telah mencatat sejarah luar biasa karena pemilu serentak ini dilaksanakan cuma dalam sehari untuk menghimpun suara hampir 130 juta suara pemilih dari (lebih kurang) 813.113 TPS di seluruh Indonesia.

Pemilu 2019 juga meninggalkan cerita haru biru tentang pengorbanan para pekerja dan pengawas serta pengamanan luar biasa heroiknya nyaris luput dari pengamatan kita yang pada umumnya asik dan fokus pada hasil pemungutan suara dan menyaksikan aksi salah satu paslon yang melakukan manuver-manuver politik dan tekanan luar biasa guna mempengaruhi hasil pemilu. 

Sejenak kita lupa pada anggota dan Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan satuan pengamanan dalam mengantarkan suara dan kotak suara hingga jurnalis yang meliput acara Pemilu di pedalaman daerah-daerah terpencil. 

Sungguh membuat kita terkesima melihat bagaimana petugas membelah hutan, menyeberang danau dan sungai, menyusuri bibir pantai untuk menuju ke pulau lain. Mendaki bukit terjal saat mengantar kotak suara hingga menuruni bukit terjal ketika selesai warga mencoblos di desa lain untuk dibawa pulang ke kantor kecamatan.

Adakah yang tau bagaimana mereka bersimbah keringat, berpeluh daki diterpa angin beberapa hari sebelum hari pemungutan suara hingga sehari setelah pemungutan suara? Gambar berikut ini semoga dapat membantu kita merasakan betapa tanggung jawab mereka sangat berat.

Getaran apa yang dapat kita rasakan menyaksikan mereka melaksanakan tugasnya agar pemilu terlaksana dengan sebaik-baiknya sementara kita di sini nyaris tidak mengetahui apa terjadi pada mereka nun jauh di sana karena asik fokus pada hasil pemilu dan menyaksikan hoak demi hoaks menyerang tiada henti demi menghalalkan segala cara memenangkan pemilu.

Adakah yang tahu para petugas di pedalaman terkapar, jatuh pingsan, beristirahat bersandar pada punggung atau paha (pengganti bantal) teman gantian yang berjaga? Gambar berikut ini diharapkan dapat membuat kita ikut merasakan betapa berat tanggung jawab mereka.

Gambaran di atas seharusnya juga membuka cakrawala kita bagaimana mereka menjalankan tugas di medan dan berat demi terselenggaranya Pemilu yang ditetapkan melalui UU sehingga berjalan dengan baik. Tidak gemetarkah hati ini melihat mereka bertugas dengan -maaf - upah seadanya. Tapi bukan upah itu yang mereka hitung. Mereka berjuan agar Pemilu terselenggara dengan baik, benar dan sesuai harapan.

Sebagaian petugas KPPS dan petugas kemanan mengalami sakit usai menjalankan tugas. Tak terhitung berapa banyak yang anjlok kesehatannya usai menjalankan tugas.

Di sudut lain nasib lebih menyedihkan dialami petugas pemilu yang meninggal dunia akibat berbagai sebab semakin membuktikan betapa pemilu kali ini adalah pemilu yang paling seru di dunia jika tak pantas disebut paling berat di dunia.

Negara India sekalipun dengan jumlah Pemilih mencapai 690 juta (DPT) menyelenggarakan pemilu serentak selama 6 hari. Bayangkan dengan negara kita yang cuma sehari. Luar biasa hebatnya bukan?

Pantas pemilu 2019 serentak made in Indonesia telah meninggalkan banyak catatan peristiwa tak enak, antara lain :

Jumlah petugas yang lemah, lesu, lunglai, letoy, loyo sangat banyak, salah satunya satu teman penulis. Ketika ditanyakan padanya apa kesan menjadi ketua KPPS, jawabnya "Cukuplah sekali ini.." sambil termenung. 

Ketika didesak lagi kenapa, jawabnya "lemah sekali kontrolnya.." tanpa menerangkan dibidang apa yang dimaksudkannya.

Alasan teman saya itu tampaknya benar. Di tempat lain, di TPS 19, Margadana Tegal seorang petugas KPPS Adhy Putra menyampaikan pesan senada. "Kapok, enggak mau lagi. Dulu (2014) jadi KPPS juga, tidak separah ini, sore wes rampung (sore sudah selesai)," ujar Adhy Putra, anggota KPPS di TPS 19, Margadana, Kota Tegal, Minggu (21/4). Sumber : Sumber : Gatra.com edisi 21 April 2019.

Jumlah petugas sakit setelah bertugas sangat banyak. Komisioner KPU Jakarta, Nurdin mengatakan. "Jumlah anggota KPPS Jakarta yang meninggal dunia 1 orang. Kalau yang sakit banyak," sebutnya sebagaimana dilansir dari Tribun News Mandao edisi 21/4/2019.

Jumlah petugas KPPS meninggal (tidak termasuk Polisi) seluruh Indonesia telah mencapai 14 orang termasuk Tugiman (53) ketua KPPS Desa Triadi, Sleman, Yogyakarta  yang bunuh diri pada 19 April 2019. Sementara yang seorang ketua KPPS di desa Kedungkandang, Malang juga berusaha bunuh diri tapi dapat diselamatkan. 

Di jajaran pihak keamanan, 11 Polisi meninggal dunia saat melaksanakan tugas. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan. Sumber : Kompas Tv.

Pada saat tulisan ini dibuat, korban bertambah lagi. Yansen, ketua KPPS 05, kelurahan Bengkalis kota meninggal dunia akibat serangan jantung dan sebelumnya dirawat karena lelah habis bertugas di hari Pemilu. Dengan demikian jumlah anggota KPPS yang meninggalpun bertambah jumlahnya.

Setelah muncul fenomena lelah,letih, lesu, sakit, meninggal dunia dalam jumlah yang banyak dan sengkarut luar biasa dalam mengawal dan mengawasi proses coblos hingga selesai coblos seperti ini barulah kini ramai-ramai memberi inisiatif perlunya evaluasi dan perbaikan terhadap pelaksnaaan pemilu serentak ala Indonesia. Salah satu yang memberi usul perbaikan adalah mantan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.

Dikutip dari Kompas.com edisi 23/1/2014, Mahkamah Konstitusi memutuskan mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. Di sini terlihat bahwa :

  1. Proses pembicaraannya dimulai sebelum 2008
  2. Proses di Komisi 2 DPR telah berjalan setidaknya sejak 2008
  3. MK telah menyetuju terselenggaranya pemilu serentak sejak 2008 (seharusnya mulai berlaku pada pemilu 2014 lalu)

Sekadar mengingatkan berikut ini adalah gambar sejumlah hakim MK diketauai Mahfud MD yang pernah memutuskan pelaksanaan pemilu serentak pada 2014 lalu. Pada saat itu, MK sudah merasakan adanya tekanan berupa upaya politisir guna terlaksananya Pemilu serentak 2014. Tapi ironisnya mengapa MK menyetujuinya??

Apakah anggota MPR dan DPR serta mitranya saat itu yang telah "berkontribusi"  lahirnya RUU No.42 dan MK yang diketuai Mahfud MD  yang sudah merasakan adanya aroma politisasi UU42/2008 pada saat itu  kini puas dengan hasil maha karya mereka melihat kenyataan seperti saat ini?

Meskipun korban jiwa tidak signifikan dibanding totalitas panita yang terlibat di dalamnya tapi bukan nilai kuantitatif itu yang jadi masalah. Fokusnya adalah nilai humanis dan estetikanya yang jadi masalah dimana korban jiwa dipihak penyelenggara akibat kelelahan teramat banyak, ditambah lagi kualitas perhitungan yang kurang baik dengan terjadinya perhitungan ulang di sejumlah daerah. Di sebuah daerah malah terjadi pembakaran kotak suara karena calegnya kalah. Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Begitulah kondisi Pemilu serentak kali ini sangat melelahkan dan itu tak terlepas dari "kontribusi"para sejumlah kreator pada masa itu sehingga terciptalah Pemilu serentak model kita saat ini. Entah karena coba-coba atau mau tampil beda dianggap hebat sedunia atau memang sok tahu sehingga terciptalah rencana besar pemilu serentak yang sebetulnya ditolak oleh negara manapun di dunia ini. 

Hanya India yang berani melaksanakan cara serentak tapi mereka perlu 6 hari untuk melaksanakan pemilu. Bukan pemilu serentak made in kita, cuma sehari dan hasilnya : bergelimpanganlah para petugas dan panitia pemilu.

Kini KPU dan Mendagri memberi gelar tanda jasa "Pahlawan" pada mereka yang meninggal dunia saat bertugas mengawal Pemilu. Mereka disebut Pahlawan Pemilu. Semoga upaya dan jasa mereka tidak sia-sia. 

Meski sedang dilanda sedikit suasana sengkarut semoga Pemilu 2019 dapat menghasilkan pemimpin dan politisi yang mampu mengurusi negara dan bangsa ini dengan menjaga kesatuan. Tidak ditunggangi kendaraan politik yang ingin mengubah dan mengotori negara dengan aksi anarkis mengatasnamakan agama ataupun atas nama nasionalis.

Salam Pemilu lebih Manusiawi

Update :

Jumlah petugas pemilu yang meninggal tercatat sebanyak 54 orang. Kemudian, ada 32 petugas yang sakit akibat pemilu.  (Bisnis.com 21/4/2019 pukul 13:15 WIB)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun