Mohon tunggu...
Purnama Syaepurohman
Purnama Syaepurohman Mohon Tunggu... Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, Sustainability provocateur, open mind, Edukasi, Literasi Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menulis sebagai penyembuhan

19 Oktober 2025   22:12 Diperbarui: 19 Oktober 2025   22:12 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Menuliskan luka menjadi penyembuhan, demikian bahasan Kompas Minggu, 19 Oktober 2025. Menyitir penulis yang tersembuhkan dari berbagai penyakit yang mereka merasa terbebani. Istilah journaling mengemuka, catat saja apa yang ada dikepala. Dengan disiplin.

Alat menulis telah berkembang, jaman dulu menulis dengan kulit kayu, lontar, atau kertas. Kini menulis dengan alat tulis modern, yang sangat mudah ditulis dan dihapus. Mengecil ke notebook sebagai aplikasi. Tidak perlu membuka OS semacam OpenOffice dan sejenisnya.

Menuliskan luka akan memberikan penyembuhan. Seperti bagaimana pengalaman masa kecil seseorang, tidak semuanya indah. Selain keindahan kasih sayang orang tua, mungkin ada perkelahian, perundungan, kebencian, ataupun cinta, sejenis cinta monyet.

Setiap anak adalah unik, demikian menurut ahli jiwa. Kepribadian anak juga ternyata tidak hanya introvert dan ekstrovert, ada juga jenis lainnya. Jenis ini bisa jadi ada pada diri anak, yang tidak terbaca oleh orang tua, guru  atau orang dewasa lainnya. Pribadi otrovert, dibahas kolom Eileen Rachman (Kompas, 4 Oktober 2025). Mereka yang tidak larut pada bluetooth phenomenon (Kaminski), contentful non-belonger (Finch).

Perundungan pada masa kecil, akan berdampak di masa dewasa. Banyak kasus korban menjadi perundung. Oleh karena itu, perlu ada kedekatan dengan orang tua (bonding) sehingga anak merasa bebas untuk menyampaikan segala hal kepada orangtuanya. Keintiman itu jangan terkalahkan oleh guru atau teman sebaya. Orang tua adalah pendidikan utama bagi anak, sebagai Madrasah Kubra.

Orang tua sayangnya bukan manusia sempurna. Dalam perjalanan hidup, bisa temukan kelebihan dan kelemahannya. Termasuk ketertutupan pada dosa masa lalunya. Fatherless bukan hanya fisik, kondisi fatherless bisa juga terjadi jika ayah tetap ada, tetapi tidak hadir dalam pendidikan di keluarga, terlalu sibuk mencari nafkah di luar sana. Tiba-tiba saja, harus memiliki saudara tiri, dan tidak ada confession dari bapak orally, kepada anak-anaknya, dan ibu yang selalu denial. Tetapi di akhir hidupnya meminta untuk anak tirinya diperhatikan. Inilah fenomena hidup di dunia.

Saat menua, dewasa, dan memiliki anak. Pengalaman masa lalu sebagai anak, tidak ingin  diterapkan pada anak sendiri. Lebih baik, keinginannya. Namun pada pernikahan, peran-peran baru muncul. Istri juga bertumbuh secara kedewasaan dan pemikiran pendidikan anak. Terjadi diskusi dalam menghadapi permasalahan perawatan anak. Berusaha hadir untuk anak, dengan segala upaya yang bisa, dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini.

Teknologi memang bisa melenakan, bagi generasi GenX yang hadir di media kekinian. Selalu muncul gadis-gadis muda mengajak kenalan yang masuk kriteria spam, hoaks, penipu daring, love scam, dan sejenisnya. Ciri-ciri nya adalah, akun tersebut isinya foto belasan biji, tanya tanya alamat, lalu minta pindah ke Watsap.

Jadi, bagi generasi yang lahir dikategorikan Generasi X, literasi teknologi penting. Agar tidak tergoda oleh janda atau duda di dunia maya, atau bahkan ngaku gadis atau perjaka. Ngajak kenalan dan seterusnya. Mostly scammer. Jarang yang betul-betul. Kecuali memang berkenalan awal secara luring, dan berlanjut jarak jauh. Keberhasilan hubungan sangat fleksibel. Akun apa coba, yang tiba-tiba nyapa, Hai Mas, Hai Koko, lalu pura-pura akrab, akan pedekate beberapa hari, lalu minta pindah ke WA. They must be scammer.

Perkembangan dunia ini memang sangat cepat. Teknologi mengubah semuanya. Berfikir orisinal semakin langka, karena akal imitasi mendominasi. Cici asisten pribadi, dipromosikan masif di Toktok. Semakin dia diberi info, maka semakin pintar dia. Dan manusia semakin malas berfikir. Apa saja bisa dibantu, apalagi soal kognitif. Gak mikir, bisa punya buku (menulis buku), lalu muncul mediator. Mereka yang menjembatani antara AI dengan dunia nyata. Menjual kepintaran prosedural untuk mereka yang paling malas berfikir. Jurnal ilmiah busuk, bisa dipoles menjadi lebih bagus, karena komodifikasi AI dan manusia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun