Perkembangan AI (Artificial Intellegence), di alih bahasakan oleh Kompas sebagai akal imitasi, mempengaruhi proses pendidikan di sekolah. Jika tidak disikapi dengan bijak, maka sekolah akan kehilangan fungsinya, terutama dalam mendidik aspek kognitif, afektif dan psikomotorik murid, terutama aspek kognitif. Permasalahan ini perlu dicarikan solusinya, agar AI tidak merusak proses pendidikan. Pada artikel ini dibahas beragam jurus agar AI tidak melemahkan kemampuan otak siswa, merujuk pada artikel dengan judul serupa di Kompas.id tanggal 1 September 2025, di halaman 13.
Profesor Fransisco Veloso dari MIT, Massachussets Institute of Technology, Amerika Serikat, dan Dekan INSEAD, Institut Europen d'Administration des Affaires, menyarankan sejumlah upaya penggunaan AI di dunia pendidikan, agar memberi banyak manfaat. 1) memanfaatkan AI untuk mengubah materi kulia menjadi siniar (podcast). 2) institusi pendidikan perlu menyiapkan lingkungan yang mendukung eksperimen penggunaan AI. 3) mahasiswa, siswa, guru, dosen seharusnya mendapatkan literasi AI. Memahami cara kerja AI dan memanfaatkannya serta bagaimana mengadopsinya secara etis dan bertanggung jawab.
Hanna Christina Sondakh, seorang guru sekolah dasar bertaraf internasional di Jakarta, memanfaatkan AI untuk menghadirkan Pangeran Diponegoro dalam berbagai bahasa. Derry Wijaya dari Monash University Indonesia memanfaatkan AI dengan mengubah pola penilaian dan pengerjaan tugas.
Permasalahan atau tantangan penggunaan AI tentu ada, pertama adalah keterbukaan untuk berubah di level pimpinan dan individu dalam adopsi AI. Selanjutnya adalah investasi terutama pada infrastruktur pendukung AI, seperti koneksi internet dan komputer, demikian menurut Veloso.
Pimpinan institusi pendidikan yang abai terhadap permasalahan ini, maka ibarat memelihara gunung es. Lambat laun wibawa institusi akademiknya terganggu. Karya-karya akademik para mahasiswa dan dosen dihasilkan oleh AI, yang lambat laun kebusukan itu akan menyebarkan baunya. Menjadi dosa besar pendidikan baru. Proses pendidikan tidak terjaga, akhirnya kehilangan marwahnya, dan menjadi tidak berguna lagi, tergantikan oleh AI.
Publikasi ilmiah melalui jurnal adalah bentuk penjagaan kualitas akademik, karena keaslian tulisan terjaga, dengan adanya pengecekan orisinalitas dengan menggunakan piranti lunak seperti Turnitin dan sebagainya. Perkembangan AI membuat perubahan baru dalam dunia publikasi ilmiah. Beberapa jurnal membolehkan adopsi AI dan beberapa masih mengharamkannya. AI memiliki kelemahan-kelemahan dalam menyortir data di internet dan mengambil kesimpulannya, sehingga kesimpulannya salah, delusional, dan menyesatkan.
Dosen harus memiliki literai AI, selangkah lebih maju dari mahasiswa. Dosesn Bahasa harus memiliki kemampuan mendeteksi kemampuan menulis, dengan mengajak diskusi atau bertanya langsung tentang karya yang ditulis oleh mahasiswa. Jika ia memakai AI, maka dibandingkan tulisan mahasiswa sesudah dan sebelum menggunakannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI