Dalam beberapa bulan terakhir, sering sekali kita mendengar dan membaca istilah “realisasi anggaran”, di media-media yang ada. Kata realisasi anggaran, rasa-rasanya menjadi kata kedua yang cukup populer dan menarik perhatian media setelah kata pandemi Covid-19 belakangan ini.
Presiden Jokowi, bahkan senantiasa menyebut dan mengangkat isu realisasi anggaran dalam beberapa kesempatan, khususnya menyangkut realisasi anggaran penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Nmaun. mengapa realisasi anggaran terkait Covid-19 dan PEN di atas sepertinya sangat sulit untuk dipacu besaran realisasinya secara maksimal, padahal pemerintah sudah menyediakan instrument regulasi kebijakan keuangan negara dalam rangka menghadapi ancaman pandemi Covid-19 yang dapat membahayakan perekonomian nasional?
Extraordinary Policy Pemerintah
Dalam merespon ancaman Covid-19, pemerintah secara cepat, telah melakukan langkah antisipatif, dengan menyiapkan regulasi terkait dengan kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19.
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, yang selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020.
Dalam regulasi di atas, pemerintah bersama dengan lembaga terkait menganggap bahwa ancaman Covid-19, sangat luar biasa berdampak pada semua bidang. Untuk itu, perlu diambil kebijakan dan langkah-langkah yang tidak biasa (extraordinary policy) dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan.
Setidaknya ada 3 domain terkait dengan kebijakan yang diambil. Pertama menyangkut penganggaran dan pembiayaan, selanjutnya kebijakan di bidang keuangan daerah, dan yang terakhir kebijakan di bidang perpajakan.
Operasionalisasi kebijakan diatas secara teknis dapat tergambarkan dalam beberapa hal, seperti pelampauan batas defisit anggaran yang ditoleransi sampai dengan diatas 3% Produk Domestik Bruto (PDB), sampai dengan tahun anggaran 2022.
Selanjutnya, penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending), pergeseran anggaran, penerbitan surat utang negara, pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), penyesuaian tarif pajak, serta penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara.