Mohon tunggu...
Aan Hasanudin
Aan Hasanudin Mohon Tunggu... Penulis - Senang bercengkrama denganmu

Anak Desa yang bermimpi besar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gaya Baru Aksi Masa

13 Juni 2020   00:10 Diperbarui: 13 Juni 2020   00:40 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mahasiswa memang identik dengan perlawanan, tidak melawan belum mahasiswa katanya. Semua orang yang berstatus sebagai Mahasiswa pasti pernah merasakan, bahwa selama ospek kita dijejali dengan pemahaman-pemahaman yang menuntut kita untuk bisa berpikir secara kritis. Pemikiran yang matang, mampu mencerna persoalan dan mengkritisi setiap kebijakan yang salah kaprah merupakan ciri khas kultur akademik, sehingga mahasiswa diberikan gelar sebagai agent of change, social control, dan iron stock. Dari agen of change mahasiswa diharapkan bisa membawa perubahan terhadap kehidupan bangsa, dari social control mahasiswa diharapkan bisa menjadi kontrol sosial ketika didalam kehidupan berbangsa dan bernegara ditemukan kebusukan dan ketidakadilan, lalu melalui iron stock diharapkan lahir calon-calon manusia unggul yang siap memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan bangsa. Ketiga peran mahasiswa ini merupakan tugas mulia yang diemban oleh para kaum intelekual muda kampus.
Implementasi dari ketiganya yang paling lazim adalah melalui aksi masa atau demonstrasi menuntut pelurusan kebijakan yang belok dari semestinya. Walaupun banyak hal lain yang dilakukan seperti diskusi publik, seminar nasional, pengabdian ke masyarakat, atau sekedar nongkrong di warung kopi dengan obrolan seputar permasalahan negeri.
Sejarah mencatat, torehan perjuangan mahasiswa sudah terjadi sejak era orde lama, bahkan turunnya Presiden Soekarno dan tuntutan pembubaran PKI tidak lepas dari campur tangan mahasiswa saat itu. Peran mahasiswa juga terjadi saat orde baru, maraknya KKN, banyaknya pelanggaran HAM, tingginya utang negara, dan krisis moneter membuat kalangan intelektual muda bersuara walaupun harus melalui jalan yang berdarah-daerah.
Monitoring kebijakan penguasa oleh mahasiswa memang terus dilakukan, aksi reformasi dikorupsi pada tahun lalu juga merupakan tanda bahwa mahasiswa saat ini masih ada. Aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa memang kebanyakan turun langsung ke lapangan. Namun menjadi pertanyaan, bagaimana cara mahasiswa untuk terus mengkawal kebijakan ditengah Pandemi yang tengah mewabah hampir di seluruh dunia saat ini. Penulis mengamati bahwa ada perubahan gaya mahasiswa dalam melakukan aksi masa dalam menuntut keadilan, dari turun ke jalan menjadi aksi media. Ya, aksi media memang cara baru dalam menyentil penguasa. Sebelumnya cara ini memang sering dilakukan, namun biasanya dilakukan hanya untuk mobilisasi masa yang akhir tujuannya adalah turun ke jalan. Seperti pada aksi reformasi dikorupsi, media sosial memang wadah efektif untuk menarik simpati rakyat dengan propaganda-propaganda yang dilakukan oleh berbagai kampus. Ramainya pemberitaan di media sosial pada akhirnya berhasil membuka kesadaran bahwa kondisi negara sedang butuh perhatian kaum muda. Hasil dari propaganda media membawa pada aksi masa di jalan yang cukup banyak untuk menggoyang kursi empuk pejabat negara. Jakarta dan kota-kota lain akhirnya memanas.
Mendapati bahwa Pandemi Covid-19 memaksa setiap orang untuk menerapkan protocol kesehatan dengan memperhatikan social dan physical distancing, membuat gaya tuntutan mahasiswa berubah dari aksi langsung menjadi aksi media, dari yang awalnya media sosial digunakan untuk menarik simpati sekarang digunakan untuk menyuarakan aspirasi. Aspirasi masa melalui media sosial ini menjadi cara baru dalam menyuarakan tuntutan. Setiap orang beramai-ramai kompak mengangkat tagarnya masing-masing. Beberapa tagar sempat viral di media sosial twitter, seperti #MendikbudDicariMahasiswa #NadiemKeamanaMahasiswaMerana #GunungDjatiMenggugat #UNNESNGENES #UndipKokJahatSih dan yang saat ini sempat trending satu twitter yaitu #UntirtaKokPelit. Tagar-tagar tersebut memang kebanyakan membahas mengenai mahalnya UKT.
Untirta atau Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang merupakan salah satu Universitas di Provinsi Banten juga tidak ketinggalan dalam membuat geram mahasiswanya. Pasalnya mahasiswa harus tetap membayar UKT penuh ditengah kondisi ekonomi yang sedang sulit, ditambah perkuliahan dilakukan secara daring. Bagaimana bisa mahasiswa yang selama Pandemi Covid-19 tidak memakai fasilitas kampus namun harus tetap membayar full UKT. Hal inilah yang membuat tagar tersebut muncul dipermukaan. Jika ditelaah gerakan tersebut, mahasiswa memang tidak menuntut pembayaran UKT dihapuskan, tapi hanya sekedar diturunkan besarannya agar tidak membebani para orang tua mahasiswa yang mungkin saja sedang sulit keuangannya akibat Pandemi Covid-19. Hal lain yang membuat geram mahasiswa adalah perihal subsidi pulsa yang dianggap halu saja. Pasalnya bantuan subsidi pulsa dari rektorat Untirta diberikan melalui potongan UKT sebesar 50 ribu untuk semester depan. Jadi pengurangan UKT 50 ribu itu dianggap sebagai subsidi pembelian pulsa untuk kebutuhan kuliah daring. Cukup menggelikan memang, tapi inilah yang terjadi.
Bukan hanya perihal UKT saja, bahkan tagar- tagar seperti #JokowiKingofPrank dan #JokowiSilahkanMundur sempat mewarnai twitter pada bulan Mei lalu. Ini merupakan keresahan yang pada akhirnya dituangkan melalui media sosial, dimana media sosial merupakan wadah yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat pada saat ini. Bahkan tagar di twitter mampu menurunkan elektabilitas Anies Baswedan ketika banyak warganet mengkritik kebijakan Gubernur DKI tersebut mengenai kebijakannya dalam menangani Covid-19.
Gaya baru dalam menuntut penguasa, baik penguasa kampus maupun penguasa negara menjadi hal yang menarik untuk terus disimak. Apakah cara ini akan berhasil dalam menggoyang keputusan yang sudah dikeluarkan, ataukah serangkaian tuntutan media itu hanya dianggap angin lalu saja oleh pemangku kebijakan. Jika cara ini berhasil, kedepan mungkin aksi media akan menjadi gaya baru dalam setiap gerakan aktivisme. Untuk membuka kesadaran masa, propaganda media memang yang paling efektif untuk dilakukan, dan akan menjadi lebih efektif jika mampu mengusik penguasa apalagi sampai mampu mengubah kebijakannya.

-Aan Hasanudin, Mahasiswa FH Untirta 2017-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun