Mohon tunggu...
Aan Hasanudin
Aan Hasanudin Mohon Tunggu... Penulis - Senang bercengkrama denganmu

Anak Desa yang bermimpi besar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perihal Corona, Karakter Bangsa, dan User FB yang Menggelikan

19 Maret 2020   03:15 Diperbarui: 19 Maret 2020   10:59 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pertama-tama saya ingin mengucapkan rasa prihatin saya yang mendalam terhadap wabah Covid-19 yang semakin merebak akhir-akhir ini. Sejak tulisan ini dibuat positif Corona di Indonesia sudah mencapai 227 orang. Sebuah kenaikan yang signifikan untuk penyebaran pandemi Corona. Virus ini memang sudah ditetapkan sebagai Pandemi oleh WHO (World Health Organization). 

Pandemi adalah sebuah penyakit yang menyebar pada geografis luas secara global. Status Pandemi tidak diukur dari seberapa parah dampak dari suatu wabah, tapi diukur dari seberapa banyak negara yang terdampak.

Pandemi mengacu pada epidemic yang telah menyebar di suatu kawasan selevel negara atau benua, sehingga hal ini bisa mempengaruhi orang dalam jumlah banyak. Melihat sudah semakin banyak negara yang terdampak dari virus yang berasal dari Wuhan ini, beberapa negara bahkan telah menerapkan kebijakan lockdown atau mengunci seluruh akses masuk maupun keluar dari suatu daerah maupun negara. 

Beberapa negara telah menetapkan kebijakan ini, seperti China, Italia, Irlandia, Denmark, Filipina, Prancis, Spanyol, dan Belgia. Indonesia yang sebagaimana kita ketahui melalui pidato Presiden Jokowi memilih untuk tidak mengikuti apa yang sudah dilakukan negara-negara tersebut. 

Dibanding lockdown, nyatanya Indonesia lebih memilih Social Distancing sebagai cara untuk menekan penyebaran Corona. Ada beberapa alasan, diantaranya adalah kekhawatiran akan ambruknya ekonomi nasional, selain juga kurangnya anggaran pemerintah untuk mensuplay makanan kepada masyarakat. 

Karena dengan lockdown, artinya pemerintah harus siap menjadi penanggung jawab untuk kebutuhan pangan masyarakat. Disisi lain sistem daring belum bisa secara efektif diterapkan di seluruh wilayah mengingat adanya kesenjangan pembangunan antar wilayah. 

Di Kota besar mungkin saja bisa diterapkan daring, namun di wilayah yang tingkat pembangunannya masih belum merata kebijakan daring justru akan merepotkan karena ketidaksiapan untuk bisa melaksanakan kebijakan itu. Maka dari itu, Social Distancing atau pembatasan aktivitas dinilai lebih tepat dengan keadaan Indonesia sekarang.

Berbicara mengenai kebijakan ini penulis merasa masyarakat kita belum bisa memahami betul apa itu Social Distancing, bagaimana respon yang harusnya dilakukan dan apa tujuan diterapkannya Social Distancing. Kebijakan pemerintah untuk meliburkan masyarakat dari aktivitas rutin sehari-hari nyatanya ditanggapi oleh sebagian masyarakat sebagai libur panjang. 

Belum sampai satu minggu instruksi work from home diumumkan, sudah banyak masyarakat yang pergi ke destinasi wisata. Seperti misalnya warga Jakarta yang memadati kawasan Puncak karena tempat wisata di Kota tersebut resmi ditutup sementara oleh Gubernur Anies Baswedan. Ini sungguh konyol, bisa-bisanya mereka berpikir darurat Corona ini sebagai ajang liburan keluarga. 

Apa mereka berpikir Corona ini sama seperti penyakit masuk angin yang bisa langsung sembuh hanya dengan kerokan dan teh hangat. Hal konyol lainnya adalah mengenai sikap masyarakat terhadap virus yang telah membunuh ribuan orang di berbagai negara ini. 

Seperti video yang viral di twitter baru-baru ini, terlihat beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu yang mengaku tidak takut dengan Corona, bahkan sebagian mengaku tidak mengetahui apa itu Corona. Di video lain ada seorang lelaki paruh baya berbicara dalam bahasa Sunda mengatakan untuk tidak usah khawatir dengan adanya Corona karena urusan kematian ada di tangan Tuhan. 

Penulis sendiri merasa geli dengan pernyataan ini. Urusan kematian memang ditangan Tuhan, tapi bukan berarti kita tidak melakukan ikhtiar untuk menghindari kesusahan. Sama halnya orang yang percaya kematian ada di tangan Tuhan lalu menaiki motor tanpa menggunakan helm. 

Lebih jauh penulis beranggapan ini adalah soal karakter bangsa kita. Ada semacam karakter yang melekat dari bangsa ini, yaitu tidak taat aturan. Misalnya, di jalanan yang dipatuhi masyarakat bukanlah hukum, melainkan polisi. 

Parkir dibawah rambu dilarang parkir, putar balik didekat rambu dilarang putar balik, melawan arah, menerobos lampu merah, berhenti di jalur pejalan kaki, dan masih banyak lagi pelanggaran lainnya. 

Namun pelanggaran tersebut tidak akan terjadi jika ada polantas yang bertugas. Sehingga dijalanan dikenal asas No Police No Law atau tidak ada polisi maka tidak ada hukum. Contoh lain sikap tidak patuh masyarakat adalah membuang sampah dibawah plang "dilarang membuang sampah disini". Jujur, ini yang paling membuat penulis mengelus dada. 

Di daerah tempat tinggal penulis, ada sebuah jalan yang dipenuhi dengan tumpukan sampah padahal disitu kawasan ramai, dekat lapangan bola dan dekat juga dengan perumahan, lebih parahnya lagi sampah bertumpuk didekat plang larangan membuang sampah. 

Masih banyak lagi kejadian pelanggaran yang membawa penulis pada kesimpulan bahwa karakter masyarakat kita memang tidak patuh. Sehingga instruksi untuk mengurangi aktivitas diluar rumah ditanggapi santai saja. Perkara meninggal toh Tuhan yang mengatur, begitu mungkin pikir mereka.

Hal lainnya yang penulis soroti adalah tentang kelakuan user facebook. Tingkah laku netijen di facebook memang suka bikin geleng-geleng kepala. Merekalah pelopor masuk surga hanya modal bilang "Amin", yang suka komentar dengan angka tertentu untuk menggerakan sebuah gambar yang diposting, atau yang suka share berita yang tidak jelas kebenarannya. Mengenai mewabahnya Corona di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk menghindari keramaian termasuk untuk Sholat di rumah terutama di wilayah terdampak. Ternyata instruksi sholat di rumah ini ditanggapi sebagian netijen facebook sebagai suatu tindakan yang anti agama, nyeleneh, menyimpang, dan tanda akhir zaman. Bahkan penulis sempat membaca komentar seperti ini, "Berdosalah kalian wahai MUI membuat kebijakan seperti ini", atau "takut kok sama Corona, takutlah sama Allah". Postingan lain yang lebih absurd adalah pernyataan kalau virus Corona tidak bisa masuk masjid. Subhanallah, dari sebagian besar kelakuan netijen, inilah yang paling membuat penulis takjub. Atas dasar apa dia bisa beranggapan kalau Corona tidak bisa masuk masjid. Di Malaysia, penyebaran virus ini sebagian besar terjadi karena interaksi orang dalam acara keagamaan terutama di masjid. Pemerintah Arab saudi pun telah mengeluarkan kebijakan untuk mengosongkan masjid sementara waktu, dan menginstruksikan untuk sholat di rumah. Kebijakan seperti ini tidak bisa diterima oleh user facebook, bahkan mereka lebih pro terhadap kebijakan Gubernur Sumatera Utara Edi Rahmayadi untuk tetap sholat di masjid. Berbeda dengan masyarakat facebook, masyarakat twitter lebih bisa berpikir logis dan menerima kebijakan yang dibuat pemerintah. Perbedaan ini bisa saja terjadi karena mayoritas pengguna twitter memang dari kalangan terdidik. Konten facebook dan twitter memang jauh berbeda. Penulis kadang saling berbalas komentar juga di facebook, dan memang kebanyakan dari mereka berpikir saklek untuk urusan agama. Sangat sulit berdiskusi ilmiah dengan mereka karena jawabannya pasti langsung kepada Tuhan. Tuhan memang maha segalanya, tapi bukan berarti kita berhenti berpikir dan mencari kebenaran. Tuhan menciptakan akal untuk berpikir, ilmu pengetahuan diciptakan untuk kebutuhan manusia juga. Tuhan memang bisa dengan mudah mengangkat segala macam penyakit, tapi bukan berarti kita tidak membutuhkan dokter untuk berobat.

Meminjam kalimat dari Komika Pandji Pragiwaksono, memang ada kecenderungan di Indonesia orang yang agamis tidak percaya ilmiah dan orang yang ilmiah tidak percaya agama. Kejadian yang penulis ceritakan diatas adalah contoh orang yang meyakini kekuatan Tuhan namun tidak menggunakan akal logisnya untuk berpikir. Tidak bisa segala persoalan langsung disandarkan pada Tuhan tanpa ada usaha dari manusianya. Antara ilmiah dengan keyakinan terhadap agama harusnya bisa berjalan beriringan. Ini bisa menjadi kelebihan manusia menjadi seimbang ilmu agama dan pengetahuan umumnya, tidak berat sebelah. Sehingga tidak menghasilkan manusia yang saling hujat, suka mendiskreditkan sesuatu yang tidak sepaham dengan pola pikir yang ia percayai.

Sosial media memang tempatnya orang menunjukan sifat yang dalam dunia nyata tidak bisa ia tampakan. Jika dalam dunia nyata ia pendiam maka di dunia maya seseorang bisa menjadi cerewet. Jika di dunia nyata seseorang tidak mempunyai daya untuk menghakimi seseorang, maka sosial media adalah tempat penghakiman yang paling kejam. Seseorang bisa mengatakan apapun tanpa takut terkena dampak langsung. Faktor tidak bertatap muka ini menjadi alasan kenapa orang bisa menjadi sangat brutal di sosial media. Tapi semua ini bisa ditekan dengan pendidikan, seseorang bisa bijak menggunakan media sosial yang ia punya jika ia terdidik. So, apapun latar belakang pendidikanmu gunakanlah sosial media dengan seadil mungkin, seseorang harus sudah adil sejak dalam pikiran supaya berpengaruh pada kebiasaan yang baik, begitulah kata Pramoedya Ananta Toer. Akhir kata, tetap jaga kesehatan, perdekat hubungan dengan Tuhan dan stay safe kawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun