Mohon tunggu...
Aan Hartono
Aan Hartono Mohon Tunggu... Administrasi - Perencana

Pemerhati Sosial Ekonomi, tinggal di Kab.Malinau Kaltara

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Membangun Indonesia dari Desa dan Pinggiran: Antara Nawacita dan Gerdema

26 November 2014   23:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:45 1240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nawacita Jkw-JK

Antiklimaks kompetisi Pilpres telah kita lalui bersama dengan telah dilantiknya pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indoensia 2014-2019. Kini masyarakat Indonesia tengah menantikan janji-janji Jokowi dan JK yang telah banyak disampaikan dalam berbagai media baik cetak maupun elektronik.

Dalam Pilpres 2014, pasangan capres cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mengusung visi 'Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong'. Visi itu ditegaskan sebagai sebuah Jalan Perubahan yang kemudian dijabarkan dalam 7 misi dan 9 program prioritas. 9 program prioritas inilah yang kemudian di kenal dengan konsep Nawacita dimana salah satunya adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan. Jalan perubahan “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan” menjadi sangat penting untuk dianalisa mengingat relevansinya dengan kebutuhan mendasar masyarakat desa serta menjadi komoditas kampanye yang sangat seksi yang diblow up oleh masing-masing pasangan capres-cawapres melalui janji pengucuran dana desa sebesar Rp. 1 milyar pertahun meskipun sesungguhnya hal tersebut menjadi amanat Undang-undang Desa Nomor 6 tahun 2014 yang belakangan diklaim oleh banyak politisi sebagai produk yang didukung penuh partainya.

Revolusi Mental versi Gerdema

Revolusi mental Jokowi yang saat kampanye lalu banyak didengungkan sebetulnya bukanlah komoditas politik baru dalam konteks pembangunan nasional dan daerah. Jauh sebelum revolusi mental yang ditawarkan Jokowi, Bupati Malinau Dr.Yansen TP diawal kepemimpinannya sudah menawarkan sebuah model perubahan dalam pola berpikir dan bertindak dari masyarakat dan aparatur. Saat itu Yansen TP menggulirkan model perubahan dalam tiga point utama yaitu pertama revolusi system atau institusi dan kelembagaan, kedua revolusi mind set masyarakat dan aparatur dan ketiga revolusi culture set masyarakat dan aparatur. Ketiga perubahan atau revlousi ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Model Gerakan Desa Membangun (Gerdema) yang menjadi model pembangunan di Kabupaten Malinau.

Revolusi system atau institusi dan kelembagaan yang dilakukan Yansen TP diawali dengan pembentukan Lembaga Partisipasi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa yang bertugas untuk meng-endors terlaksananya perencanaan partisipatif dalam pembangunan di desa. Selanjutnya, terbentuknya LP3MD tersebut mendorong terwujudnya sebuah model perencanaan yang bottom up sebagai kekuatan utama Model Gerdema. Pada tahap berikutnya untuk semakin memperkuat model, maka aktifitas dan kegiatan SKPD merupakan hasil perencanaan desa.

Revolusi mind set diarahkan kepada perubahan cara berpikir semua pihak khususnya masyarakat desa untuk berubah rasional, kritis dan inovatif. Tahapan ini bertujuan untuk mendorong masyarakat desa untuk peduli dalam pelaksanaan pembangunan desa dimana selama ini masyarakat lebih banyak menjadi obyek pembangunan dan bukan menjadi subyek pembangunan. Dengan demikian masyarakat diharapkan mampu berpikir akomodatif sehingga dapat mengembangkan potensi dan kearifan local yang selama ini masih terpendam.

Revolusi culture set ditujukan pada perubahan budaya lama yang berkembang dalam masyarakat yaitu kuatnya peran pemerintah dalam pembangunan desa, lambatnya proses pembangunan di desa dan keenggana untuk terlibat dalam setiap tahapan pembangunan. Melalui revolusi culture set ini maka keterlibatan masyarakat secara penuh dalam pembangunan dapat terwujud. Begitu pula peran masyarakat akan lebih kuat dan menjadi anti tesis dari fakta yang selama ini berkembang yakni kuatnya peran pemerintah dalam pembangunan di desa.

Fakta Gerdema versus Fakta Nawacita

Bergulirnya revolusi mental versi Gerdema yang dilaksanakan secara simultan baik dari sisi kelembagaan, aparatur maupun masyarakat menjadi pondasi yang kokoh bagi pelaksanaan model gerakan desa membangun yang kick off nya dimulai pada tahun 2012 yang lalu. Terlalu singkat memang untuk menilai keberhasilan Gerdema yang belum genap tiga tahun bergulir. Namun fakta yang ada menunjukan bahwa hampir tiga tahun pelaksanaan gerdema telah mendorong terwujudnya perubahan mendasar dalam tatanan pembangunan desa.

Kekuatan gerdema bertumpu pada tiga revolusi sebagaimana dijelaskan di atas yang selanjutnya di dukung oleh penyerahan kewenangan dan pembiayaannya. Selama tahun 2012-2014, setiap desa rata-rata mendapatkan dana gerdema sebesar Rp. 1,2 Milyar untuk men-suport berbagai kegiatan yang diakomodir dalam APBDesnya. Bahkan untuk tahun 2015 mendatang, Pemerintah Kabupaten Malinauberencana meningkatkan alokasi dana Gerdema lebih besar lagi dimana masing-masing desa di rencanakan memperoleh alokasi sebesar Rp. 1,3-2 milyar. Bandingkan dengan alokasi dana desa yang disiapkan APBN yang digadang-gadang sebesar Rp. 1 milyar perdesa sebagaimana janji kampanye lalu. Faktanya pemerintah hanya menyiapkan dana sebesar Rp. 9,1 trilyun untuk 74 ribu desa se-Indonesia. Artinya jika di bagi rata maka masing-masing desa hanya mendapat Rp. 122 juta. Padahal idealnya sesuai amanat undang-undang maka seharusnya alokasi dana desa yang disiapkan pemerintah dalam APBN adalah sebesar Rp. 64 trilyun. Memang benar bahwa pemrintahan Jkw-JK tidak dapat berbuat banyak mengingat postur APBN 2015 merupakan produk pemerintahan sebelumnya, namun kita masih punya secercah harapan pemerintah JKW-JK akan menambah alokasi dana desa tersebut dalam APBN Perubahan 2015 melalui realokasi subsidi BBM yang nilainya cukup besar.

Terlepas dari janji pemerintah yang belum dapat terealisasi tahun 2015 mendatang, tidaklah berlebihan jika kita menilik sekilas profil keberhasilal Gerdema dalam meningkatkan derajat hidup masyarakat serta pengurangan kemiskinan di Kabupaten Malinau. Agar perbandingan kemiskinan dapat seimbang (apple to apple) maka penulis menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang setiap tahun dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.

Pada tahun 2013, persentase kemiskinan Kabupaten Malinau sebesar 10,48 persen. Angka ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya dimana pada tahun 2012 persentase kemiskinan sebesar 11,71 persen. Yang lebih menguatkan keberhasilan gerdema adalah bahwa dalam periode 2010-2013, Kabupaten Malinau adalah daerah yang mampu menekan persentase kemiskinan terbesar di Provinsi Kalimantan Utara yaitu sebesar 4,83 persen. Sedangkan daerah lainnya pada periode yang sama hanya mampu menurunkan angka kemiskinan pada kisaran 1-3 persen saja. Analisa penulis terhadap kondisi ini adalah bahwa alokasi dana gerdema untuk mendukung APBDes setidaknya mampu memperkuat variable yang selama ini menjadi pendorong utama terjadinya kemiskinan yaitu pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Melalui penguatan APBDes, kelima varibel tersebut dapat lebih cepat teratasi karena penanganannya langsung pada titik sasaran. Sebagai contoh masyarakat miskin yang rumahnya tidak layak huni maka akan dibantu untuk dibuatkan rumah layak huni. Begitu pula penyediaan beasiswa bagi masyarakat miskin bisa langsung dieksekusi di tingkat desa.

Yang menarik lagi dalam implementasi Gerdema ini adalah bahwa ternyata capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Malinau tahun 2013 yaitu sebesar 74,33 telah melampui target IPM tahun 2016 yang direncanakan dalam RPJMD 2011-2016 yaitu sebesar 74,25. Maknanya adalah bahwa Model Gerdema yang telah dilakukan oleh Kabupaten Malinau telah mampu mempercepat capaian pembangunan manusia Kabupaten Malinau 3 tahun lebih cepat dari target.

Dengan fakta-fakta tersebut tidaklah berlebihan jika Bupati Malinau Dr.Yansen TP dalam sebuah kesempatan menjadi pembicara seminar nasional di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UGM bersama Menteri Desa, Transmigrasi dan PDT yaitu Marwan Ja’far dan Guru Besar FEB UGM Prof.Mudrajat Kuncoro, Ph.D, mengusulkan agar Gerdema dapat dijadikan model nasional karena telah terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa sebagaimana nawa cita pemerintahan Jokowi-JK yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun