Mohon tunggu...
Em Amir Nihat
Em Amir Nihat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Kecil-kecilan

Kunjungi saya di www.nihatera.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ultah: Budaya Berbagi atau Menerima?

2 Juni 2021   16:56 Diperbarui: 2 Juni 2021   16:58 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya penasaran dengan istilah "Ulang Tahun" sebab memang tidak ada tahun yang diulang. Mungkin lebih pas memakai kata "Tambah Tahun". Ini mungkin salah satu istilah yang salah kaprah di Kamus Bahasa kita. Seperti istilah absen yang disini menunjuk informasi keberadaan padahal kata "absen" artinya menunjuk ketidakberangkatan. Atau minum air putih padahal aslinya air bening.

Kembali ke ulang tahun. Tradisi ini pasti wujud rasa syukur orangtua yang ingin membahagiakan anak-anaknya maka tercetuslah budaya perayaan ulang tahun. Umumnya perayaan ini menggunakan media kue dan lilin menyala yang akan ditiup oleh yang sedang ultah. Sebelumnya berdoa meminta harapan. Ada juga pesta kecil-kecilan disana. 

Saya tidak akan berdebat tentang hukum perayaan ultah sebab itu hak masing-masing. Kita pun bisa meneliti sejarah kapan dimulainya perayaan itu, siapa yang melakukannya dan dalam rangka wujud apa. Banyak yang membahas ini di google, cari tahu saja.

Saya tidak menyalahkan akan hal itu. Tetapi perlu kiranya kita menyadari bahwa kebiasaan ultah kelak akan menjadi mindset dari anak-anak kita. Misalnya karena sudah terbiasa menerima hadiah saat ultah maka mindset ultah berubah menjadi budaya menerima. Jika tidak diberi hadiah akan sedih. Jika tidak dirayakan akan sedih. Pertanyaannya, Apakah ultah itu menjadi media ingin menerima hadiah? Bukankah seharusnya ultah itu dijadikan budaya syukur yang wujudnya berbagi?

Di Desa, budaya Ultah itu budaya memberi. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan karena masih diberi umur panjang maka mereka membuat slametan atau memberi makan dan minum kepada tetangga, saudara dan teman-teman. Kita mengenal budaya among-among. Anak -- anak di desa yang ultah sejak kecil diberi kesadaran bersyukur dengan cara berbagi ke orang lain.

Andai diberi hadiah oleh orangtua, saudara dan teman-teman itu bukan prioritas tetapi timbal balik ungkapan cinta. Artinya andai tidak diberi hadiah pun tidak sedih karena memang fokus ultah adalah kesadaran untuk bersyukur. Wujudnya memberi dan berbagi. Sejak kecil diajari berbagi maka anak -- anak desa memang cenderung lebih simpati dan empati terhadap orang lain.

Semestinya ultah melahirkan kesadaran rasa syukur wujudnya berbagi, bukan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun