Mohon tunggu...
Em Amir Nihat
Em Amir Nihat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Kecil-kecilan

Kunjungi saya di www.nihatera.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Film

Misteri di balik Film "Sexy Killer dan Avengers End Game" yang Jarang Diketahui Orang

4 Mei 2019   18:33 Diperbarui: 4 Mei 2019   18:36 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Almarhum Rosihan Anwar memiliki teori yang agaknya masih relevan dengan budaya nonton orang Indonesia, Seandainya para pembuat film merasa sudah tidak punya jalan lain mengundang penonton ke bioskop maka jalan yang mereka tempuh adalah back to basic yaitu mereka akan menjual film horror, sex dan komedi. 

Tidak perlu butuh persiapan atau strategi matang hanya menjual sensasi para pemeran film, unsur esek-esek dan kelucuan maka hal itu sudah memuaskan penonton. 

Agaknya penonton kita kurang suka dengan film sejarah, film dokumenter atau film-film berat yang menguras otak. Jadi, jangan heran kalau film back to basic menjamur di Indonesia sebab renyah memang.

Kehadiran Film Sexy Killer karya WachDoc bisajadi pengecualian, dengan produksi yang keroyokan dan distribusi gratisan ala nobar maka kehadiran film ini menawarkan konsumsi berat buat penonton. 

Menonton film pada dasarnya memang bernilai jualan sehingga penonton dipandang sebagai konsumen, namun Film Sexy Killer justru menawarkan penonton sebagai rakyat secara nyata. Jangan heran kalau obrolan film ini terasa lebih hidup dan asli sebab yang ditawarkan memang kejadian yang real (nyata).

Keriuhan SexyKiller dengan mengambil angle di saat pilpres merupakan strategi sangat jitu dan semoga saja ada obrolan yang semakin kritis dan kreatif sehingga tidak hanya menjadikan film ini sebagai dasar namun juga sebagai alat peninjuan kembali bagaimana kita perduli dengan alam.

Untuk informasi lebih luas dan panjang lagi, kita juga bisa menonton film dokumenter "Before the Flood" yang diprakarsai oleh Artis beken Leonardo DiCaprio. Filmnya nyaris sama dengan Sexy Killer bahkan bisa jadi film ini merupakan The Big Sexy Killer karena urusannya adalah pengusaha tambang batubara dunia, ketimpangan penggunaan listrik di dunia dan masalah efek rumah kaca.

Kembali ke pembahasan film. Kehadiran film Avengers : End Game membuat seluruh dunia demam superhero besutan Marvel. Misinya sebenarnya tak sesederhana itu sebab disitu ada film disitu ada jualan produk yang erat kaitannya dengan film. 

Jadi, jangan heran kalau secara tak sadar Marvel sudah menginvasi kegemaran kita dengan membuat kegemaran semu baru dimana kita ikut-ikutan meramaikan demam itu. Apalagi media metropolitan yang gandrung dengan film ini terlalu membesar-besarkan. Tetapi yang pasti sasaran kawula muda dan orang kota menjadi misi tak terlihat di film ini.

Lalu bagaimana tren nonton film di bioskop ?

Agaknya tren gedongan masih pas jika kita berbicara nonton film di bioskop. Seperti kutipan lagu Benyamin S "Malam Minggu"

Malem minggu, aye pergi ke bioskop...
Bergandengan, ame pacar nonton koboi...
Beli karcis, tau tau keabisan...
Jaga gengsi, terpakse beli cabutan...

Aduh emak asiknye...
Nonton dua duaan, kaye nyonye dan tuan...
Di gedongan...

Mau beli minuman...
Kantong kosong glondangan, malu ame tunangan...
Kebingungan...

Menurutku lewat lagu ini kita bisa belajar bagaimana kondisi perfilman di Indonesia. Bicara bioskop yang hanya untuk kelas menengah atas, tren film barat dan sasaran kawula muda yang merupakan jantungnya konsumen film.

Mengapa Hollywood bisa kuat sampai sekarang?

Membuat film bagus bukanlah perkara yang mudah. Bagus disini bukan berarti hanya fokus pada cerita film saja tetapi harus kuat dalam tiga infrastruktur yaitu produksi, distribusi dan eksebisi. Artinya diperlukan kekuatan dana yang besar jika ingin film tersebut laris dan besar. Dan hollywood memiliki seluruh aspek ini.

Infrastruktur produksi mencakup segala seluk-beluk pembuatan film, sejak tahap ide hingga hasil akhir berupa film yang siap diedarkan. Infrastruktur distribusi berhubungan dengan aspek penjualan dan perdagangan film-film yang telah diproduksi.

Sementara infrastruktur eksebisi berhubungan dengan aspek perbioskopan dan pemutaran film-film yang telah diperdagangkan. Di dalam infrastruktur eksebisi itulah terjadi perrjumpaan langsung antara produk dengan konsumen: tiket dibeli, pendapatan dicatat dan dikumpulkan, gaya hidup tercipta yang pada akhirnya melahirkan lingkaran konsumsi produk-produk Hollywood.

Lalu, apa yang bisa kita harapkan jika dominasi film Hollywood terlalu kuat sedangkan film Indonesia masih belum mau meningkat dari film back to basic ?

Semoga saja ada kesadaran bersama para produsen film untuk membentuk rumah film bersama dengan sistem produksi dan distribusi yang kuat sehingga diharapkan film Indonesia tidak menjadi tamu di rumah sendiri. Amerika punya Hollywood, India punya Bollywood semoga Indonesia juga punya yang wood-wood juga ya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun