Sebagian orang tua ada yang terkesan memaksa anak-anak yang belum baligh berpuasa di bulan Ramadhan sebagaimana orang dewasa berpuasa. Menyuruh anaknya untuk meneruskan puasa di saat masih jam puasa meskipun anak tersebut mengeluh bahkan merengek mengatakan tidak tahan lagi menahan lapar atau haus. Sebagai upaya untuk menahan anak tersebut mengurungkan niatnya agar tidak membatalkan puasa orang tua mengiming-imingi hadiah bahkan ada yang mengancam, dan ancamannya bahkan  dengan membawa-bawa nama Tuhan bahwa tidak berpuasa itu berdosa. Bahkan ada juga yang membanding-bandingkan anak yang tidak berpuasa dengan memuji anak lain yang berpuasa atau membullly yang tidak berpuasa.
Apabila dilihat dari sisi hukum agama tentu pemaksaan berpuasa kepada anak-anak tersebut tidak tepat karena orang yang dibebani untuk memikul kewajiban agama (mukallaf) hanyalah orang dewasa yang dimulai sejak usia baligh yang ditandai dengan datangnya haid bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki (sekitar umur 14-15 tahun), kisaran umur tersebut bisa lebih atau kurang. Dari segi fisik terlihat dari adanya perubahan hormon dan bentuk tubuh, seperti mulai tumbuhnya kumis, payudara, bulu kemaluan, berubahnya suara dan lain-lain.Â
Dibandingkan dengan ketentuan dalam perundang-undangan di Indonesia untuk menetapkan seseorang disebut dewasa terdapat beberapa keberagaman, ada 17, 18,19 dan 21 tahun.
Perintah puasa turun kepada Nabi saw pada tahun kedua Hijriyah, artinya pada tahun ke-15 dari kenabian. Berarti selama 13 tahun Nabi berdakwah di kota Mekah ditambah dengan permulaan periode Madinah (sebelum hijrah) belum ada kewajiban puasa bagi kaum muslimin. Butuh 15 tahun untuk mempersiapkan iman kaum muslimin yang dibina langsung oleh Rasulullah sebelum ditetapkannya kewajiban puasa. Hal ini berarti memang ibadah puasa ini merupakan ibadah yang cukup berat. Tidak hanya kedewasaan yang diperlukan tetapi juga iman yang cukup.
Imam Syafi'i, salah satu imam mazhab dalam fikih yang menjadi rujukan kaum muslimin, konon ketika masih kanak-kanak sudah mengajar di Masjidil Haram, yang diajarinya adalah orang-orang dewasa. Ketika beliau mengajar di siang hari pada bulan puasa, beliau tidak berpuasa, apabila haus atau lapar maka beliau minum atau makan saja karena menurut hukum syariat anak-anak belum dibebani kewajiban untuk berpuasa.
Barangkali hal ini dapat dijadikan renungan dalam mendidik dan memperlakukan ibadah puasa kepada anak-anak yang belum baligh atau dewasa. Yang jelas Allah sendiri belum mewajibkannya berpuasa. Jangan sampai orang tuanya apalagi sampai mengatasnamakan agama memberikan kewajiban melebihi kewenangan Allah dengan memaksa anaknya berpuasa.
Tidak ada salahnya, sebagai orang tua mengajak dan melatih anaknya untuk menjalankan kewajiban agama seperti puasa ini dengan membangunkannya ikut sahur bersama dan memberikan pemahaman tentang hikmah ibadah puasa. Apabila anak tersebut menjalankannya dengan kesadaran dan kemauannya sendiri tentu tidak ada salahnya bahkan mungkin baik baginya. Yang tidak benar itu adalah memaksanya.
Dunia anak-anak adalah dunia bermain dan makan-makan. Jangan sampai mereka menganggap kehadiran agama rahmatan lil alamin ini mengganggu kesenangan hidup mereka. Padahal doktrin agama yang mereka terima adalah Allah Maha Pengasih dan Penyayang.Â
Apalagi ibadah puasa adalah ibadah yang bersifat rahasia, yang mengetahui seseorang berpuasa atau tidak hanya Tuhan dan yang bersangkutan. Jangan sampai anak-anak terpaksa berbohong untuk menyelamatkan mukanya di hadapan orang tua maupun orang lain karena tidak tahan berpuasa lalu minum atau makan sesuatu secara sembunyi-sembunyi kemudian pura-pura berpuasa lagi sampai Maghrib.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI