Akhir Maret kemarin, saya melaksanakan ibadah mudik dengan kereta api. Yah, moda apa lagi, kan, yang menawarkan harga terjangkau dan memiliki kepastian waktu, kalau bukan kereta api? Apalagi, untuk perjalanan antarprovinsi. Biarpun kini jalan tol yang melintang sudah makin panjang, berdasarkan pengalaman saya, belum ada yang bisa mengalahkan kereta api dalam hal ketepatan waktu.
Kali itu untuk pertama kalinya, saya memilih Stasiun Purwosari, Solo sebagai titik keberangkatan. Naik kereta api jarak jauh dari stasiun ini adalah hal baru bagi saya. Serta tampaknya, akan menjadi suatu pengalaman yang sulit dilupa---suatu kesempatan yang menjadi monumen bagi saya atas pentingnya sikap saling menghargai antarpenumpang.
Sebuah Pengalaman yang Membekas
Setelah pengumuman bahwa KA Kahuripan telah memasuki peron, orang-orang tampak langsung menyerbu pintu-pintu gerbong yang terdekat. Situasi tak kondusif pun tak terelakkan.
Petugas sebenarnya telah dengan tegas mengimbau, "Yang turun duluan!" Petugas terus mengulangnya sembari berusaha menghalau bibit kemacetan yang mulai bersemai akibat penumpang yang hendak turun dan yang ingin naik hanya mengandalkan jalur masuk yang sama.
Namun, kerumunan tampak tidak terlalu mengindahkan. Beberapa banyak orang tetap mencoba merangsek masuk melalui pintu di mana penumpang lain turun.
Alhasil tanpa pikir panjang, saya memilih pintu bagian depan yang sama sekali tidak ada antrean, meskipun ternyata kursi yang saya tempati berada di bagian belakang gerbong. Saat sudah berhasil masuk, ternyata, bukan berarti perkara telah usai. Situasi justru makin menantang karena konfigurasi kursi KA Kahuripan yang 3-2 membuat ruang gerak semakin terbatas.
Ini bukan kali pertama saya memilih kereta api PSO. Mungkin itu kenapa memori otot saya seakan telah terlatih untuk melipir dan mencari sela ketika ada orang lain di lorong, terutama jika dari arah berlawanan.
Akan tetapi, hal berbeda tampaknya dilakukan oleh seorang ibu yang membawa serta seorang anak dan dua buah bagasi: satu koper, satu lagi tas yang lebih besar. Dengan ruang yang sempit, ibu itu tetap segera ingin bagasinya aman di pandangan matanya. Ia mendahulukan menata kopernya di tengah keramaian itu.
Akibatnya, menurut pantauan saya, setidaknya ada dua penumpang yang hendak turun tapi gagal karena terjebak di tengah kereta. Lorong sangat padat hingga petugas kereta tidak muat untuk masuk mengintervensi. Ketika kereta sudah mulai berjalan, kedua penumpang tadi masih belum bisa beranjak dari tempat duduknya, terhalang oleh ibu dengan dua bagasi tadi.