Mohon tunggu...
Annisa R
Annisa R Mohon Tunggu... Mungkin Mahasiswa

Belum tahu mau menulis apa.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mudik Bareng KAI: Mengesankan dan Mengesalkan Memang Hanya Berbeda Satu Huruf

14 Mei 2025   19:00 Diperbarui: 2 September 2025   14:15 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak depan Stasiun Purwosari (Sumber: Dokumentasi pribadi/Annisa R)

Akhir Maret kemarin, saya melaksanakan ibadah mudik dengan kereta api. Yah, moda apa lagi, kan, yang menawarkan harga terjangkau dan memiliki kepastian waktu, kalau bukan kereta api? Apalagi, untuk perjalanan antarprovinsi. Biarpun kini jalan tol yang melintang sudah makin panjang, berdasarkan pengalaman saya, belum ada yang bisa mengalahkan kereta api dalam hal ketepatan waktu.

Kali itu untuk pertama kalinya, saya memilih Stasiun Purwosari, Solo sebagai titik keberangkatan. Naik kereta api jarak jauh dari stasiun ini adalah hal baru bagi saya. Serta tampaknya, akan menjadi suatu pengalaman yang sulit dilupa---suatu kesempatan yang menjadi monumen bagi saya atas pentingnya sikap saling menghargai antarpenumpang.

Sebuah Pengalaman yang Membekas

Setelah pengumuman bahwa KA Kahuripan telah memasuki peron, orang-orang tampak langsung menyerbu pintu-pintu gerbong yang terdekat. Situasi tak kondusif pun tak terelakkan.

Petugas sebenarnya telah dengan tegas mengimbau, "Yang turun duluan!" Petugas terus mengulangnya sembari berusaha menghalau bibit kemacetan yang mulai bersemai akibat penumpang yang hendak turun dan yang ingin naik hanya mengandalkan jalur masuk yang sama.

Namun, kerumunan tampak tidak terlalu mengindahkan. Beberapa banyak orang tetap mencoba merangsek masuk melalui pintu di mana penumpang lain turun.

Alhasil tanpa pikir panjang, saya memilih pintu bagian depan yang sama sekali tidak ada antrean, meskipun ternyata kursi yang saya tempati berada di bagian belakang gerbong. Saat sudah berhasil masuk, ternyata, bukan berarti perkara telah usai. Situasi justru makin menantang karena konfigurasi kursi KA Kahuripan yang 3-2 membuat ruang gerak semakin terbatas.

Ini bukan kali pertama saya memilih kereta api PSO. Mungkin itu kenapa memori otot saya seakan telah terlatih untuk melipir dan mencari sela ketika ada orang lain di lorong, terutama jika dari arah berlawanan.

Akan tetapi, hal berbeda tampaknya dilakukan oleh seorang ibu yang membawa serta seorang anak dan dua buah bagasi: satu koper, satu lagi tas yang lebih besar. Dengan ruang yang sempit, ibu itu tetap segera ingin bagasinya aman di pandangan matanya. Ia mendahulukan menata kopernya di tengah keramaian itu.

Akibatnya, menurut pantauan saya, setidaknya ada dua penumpang yang hendak turun tapi gagal karena terjebak di tengah kereta. Lorong sangat padat hingga petugas kereta tidak muat untuk masuk mengintervensi. Ketika kereta sudah mulai berjalan, kedua penumpang tadi masih belum bisa beranjak dari tempat duduknya, terhalang oleh ibu dengan dua bagasi tadi.

Celakanya lagi, stasiun pemberhentian berikutnya adalah Stasiun Sragen yang terpaut sekitar 30 kilometer dari Stasiun Purwosari. Entah bagaimana kedua penumpang itu akan kembali ke Solo.

Namun yang jelas, mereka harus merelakan sejam dua jam waktunya hanya untuk kembali ke kota tujuan. Belum lagi, mereka juga harus mengeluarkan biaya pribadi lebih untuk pulang. Sebab respons sang ibu ketika melihat kedua penumpang itu hanyalah, "Oh, saya kira tadi sempat turun." Saya tercekat dengan keseluruhan yang saya lihat dan dengar, sampai-sampai tidak sempat mengabadikan dalam bentuk foto.

Pengalaman tersebut menjadi pengingat berharga buat saya bahwa mengutamakan keteraturan dan sikap saling menghargai merupakan kunci kenyamanan bersama. Serta, untuk tidak segan mengatakan kata maaf dengan benar dan menjadi insan yang akuntabel.

Memang tidak ada yang salah dalam mengusahakan keamanan barang bawaan. Akan tetapi, tentu hak orang lain juga tidak seharusnya dilanggar. Tidak, fakta bahwa kereta itu adalah kereta subsidi, tidak mengubah bahwa akal sehat dan tenggang rasa tetap harus dilibatkan.

Saya memang bukan tokoh utama dari kejadian itu, tapi entah kenapa saya ikut merasa kesal. Di tengah bulan puasa, sudah terbayang hendak bertemu keluarga, tapi harus tertunda karena sesuatu yang bukan kesalahan kita.

Rasa salut untuk petugas-petugas yang telah berusaha mengatur alur masuk penumpang sejak di pintu masuk. Namun, kenyataan bahwa lorong menjadi terlalu sempit oleh orang maupun barang hingga petugas pun tidak mampu mencapai guna menengahi, tampaknya menunjukkan bahwa kereta subsidi juga perlu peremajaan untuk alasan manusiawi---tentunya, tanpa menaikkan harga karena transportasi umum yang terjangkau adalah kewajiban penyelenggara negara dan hak warganya. Selain tentu saja, juga perlu ada perubahan agar pola pikir penumpang untuk menghargai sesama terbentuk secara organik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun