Mohon tunggu...
Atikah Djunaedi
Atikah Djunaedi Mohon Tunggu... Guru - Freelance Translator | Certified German Teacher |

Ich schreibe was ich schreiben moechte.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dalam Diam, Sungguhku Menganggumimu

12 November 2015   16:19 Diperbarui: 12 November 2015   16:23 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(BUAT ABAH DAN UMI DI KAMPUNG...)

Hari ini diantara tumpukan kertas-kertas kejaanku, setelah membaca “status” BB dan status “facebook” temen-temenku yang mengulas tentang “Father’s day”. Gatal rasanya jari saya ingin menuliskan perasaanku tentang sosok seorang ayah yang telah membesarkanku. Sengaja saya tidak mengulas hanya tentang ayah saja , karena seorang ayah tidak akan berdiri kokoh tanpa seorang Ibu yang mendukungnya…

Maka inilah kisahku tentang perjuangan ayah dan ibuku..

Ayahku (saya panggil dengan sebutan “ Abah “ ) adalah sulung dari 7 bersaudara , terlahir dikampung yang agamis . Dia bukan anak orang mampu apalagi orang kaya. Bapaknya hanya seorang pembuat alat-alat pertanian , seperti cangkul, golok, parang dsb , yang waktu dulu memang peralatan yang sangat diperlukan di daerah pertanian. Diantara semua saudara sekandungnya hanya dialah yang mempunyai keinginan besar untuk sekolah, meskipun hambatan biaya dan dukungan orang tua tidak ada sama sekali. Sepulang sekolah dia harus membantu orang tuanya, menempa besi mentah yang dipanaskan sehingga besi tersebut merah menyala dan menempanya menjadi berbagai jenis pekarangan dan alat pertanian. Sungguh pekerjaan berat …

Setamat SD , dia melanjutkan sekolah teknik (setarap SMP) meskipun harus berjalan sejauh 10 km dari rumah ke pusat kota Sukabumi dan pulang jalan kaki pula , dengan baju kumal dan sepatu kadang Cuma satu, yang sudah bolong. Setamat ST, diapun harus mengubur keinginan untuk melanjutkan sekolah ke SMA , karena orang tua keberatan. Akhirnya dia bekerja di “workshop” bapaknya sebagai penempa besi.

Di usia 20 tahun (pada tahun 1974) dia menikahi ibuku yang waktu itu masih berumur 14 tahun (belum ada UU perkawinan jaman dulu ). Ditengah himpitan ekonomi, dia tetap melanjutkan pekerjaan sebagai penempa besi. Ibu saya membantu mencari nafkah sebagai kuli , kuli memetik padi disawah orang apabila musim panen , kuli menanam padi apabila musim tanam. Mereka bahu membahu dalam segala kekurangan. Upah padi yang ibu saya terima langsung dia keringkan dan langsung ditumbuk untuk makan siang. Suatu nikmat yang besar apabila mereka bisa mendapatkan ikan asin sebagai teman makan . Setahun kemudian lahirlah seorang anak perempuan (yaitu saya) dan tentu saja masih dalam keadaan kurang mampu, sehingga mereka tidak mampu untuk memberikan imunisasi atau sekedar membawa saya ke puskesmas tatkala sakit. Waktu berjalan, dan sayapun dewasa sebelum waktunya. Diusia 3 tahun , saya harus diam dirumah terkunci dari luar karena ibu saya sedang disawah orang sementara Bapak saya sedang menempa besi. Usia 5 tahun saya sudah bisa mengantarkan nasi buat Bapak, padahal jarak yang ditempuh lumayan jauh ( saya juga heran , kok saya bisa melakukan hal itu diusia yang sangat belia!)

Keinginan maju Bapak saya belum padam, dia tetap gigih meraih keinginan untuk hidup lebih maju. Pada tahun 1982 bersamaan dengan usia saya untuk masuk SD, Bapak saya mendengar kabar bahwa ada penerimaan pegawai negeri dengan posisi sebagai “pesuruh” atau penjaga sekolah. Dia pun semangat menulis lamaran diatas kertas polio dengan penerangan lampu templok. Singkat kata setelah menjalani beberapa test, akhirnya dia lolos dan beberapa waktu kemudian dia diangkat menjadi PNS. Kami merasa senang, karena kami mempunyai pemasukan tiap bulan. Jabatan “pesuruh” adalah jabatan hina dikampung saya, tetangga mencibir dan menghina bahwa pekerjaan Bapak saya adalah “nyebokin” anak-anak SD . Tetapi Bapak saya tidak gentar sedikitpun. Dia tetap menekuni pekerjaannya. Tidak berapa lama dia mendengar kabar bahwa ada lowongan di Dinas Pendidikan (Kantor P&K, waktu itu) tapi dengan syarat harus lulus SMA. Dia tidak kalah semangat, lalu mendaftarlah dia ke sekolah setingkat SMA dengan nama KPAA Negeri (aduh..saya lupa kepanjangannya). Dan pasangan hidupnya yaitu Ibuku tetap disampingnya dan membantu berjuang. Ibuku menggeluti profesi yang baru, bukan sebagai kuli lagi , melainkan dia mulai berdagang makanan keliling. Penghasilan sudah mulai membaik dan Bapak pun berhasil naik jabatan menjadi pegawai di Dinas P&K.

Gaji PNS memang tidak besar jaman itu, tapi sudah mampu mengangkat kehidupan kami (Alhamdulillah). Dan anak kedua mereka pun lahir yaitu adik . Mereka membesarkan kami berdua dengan kasih sayang.

Dengan susah payah mereka meyekolahkan saya sampai SMA. Setelah tamat SMA saya mengungkapkan keinginan saya kepada Bapak untuk ikut UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Dia sedikit termenung , tetapi akhirnya memperbolehkan saya ikut ujian , dengan syarat saya tidak kecewa apabila ternyata saya lulus ujian tetapi tidak bisa ikut kuliah karena bayangan biaya yang tidak sedikit untuk membiayai kuliah selama 5 tahun dan sayapun setuju. Waktu UMPTN datang , sayapun ikut ujian di Bogor dengan pilihan tempat kuliah IKIP Bandung (UPI) , pilihan pertama Bahasa Inggris, pilihan kedua Bahasa Jerman dan pilihan ketiga IPA (jurusan apa saya lupa). Saya memilih program bahasa karena kesukaan saya akan bahasa . “kok bisa kepikiran untuk kuliah bahasa Jerman??” , karena semasa SD Bapak saya rajin mengutak atik radio dan beberapa gelombang radio luar negeripun berhasil saya dengar, dan salah satunya siaran radio “Deutsche Welle”, radio itulah yang menginspirasi saya untuk berkeinginan belajar bahasa Jerman. Penguman hasil UMPTN pun tiba dan pagi-pagi saya naik angkot ke kota Sukabumi untuk mencari Koran (karena Koran belum masuk kampung ). Tidak disangka ternyata sayapun lulus dan diterima di Jurusan Bahasa Jerman IKIP Bandung. Antara bahagia dan sedih kami menerima kabar baik tersebut. Saya melamun dan saya menyadari keadaan kami, langsung saya katakan ke Bapak bahwa tidak apa-apa kalau saya tidak kuliah sekarang dan saya katakan ijinkan saya untuk menjadi TKW ke jazirah Arab untuk bekerja dan mencari uang untuk biaya kuliah dikemudian hari. Bapak saya ternyata pergi mencari pinjaman ke tetangga untuk daftar ulang ke IKIP dan Alhamdulillah dia berhasil mendapatkan pinjaman dan dia berkata: “besok kita ke Bandung, kita “bismillah” saja, ambil kesempatan untuk kuliah”. Tahun 1994 saya mulai kuliah dan Alhamdulillah karena kegigihan dan memang saya menyukai bahasa Asing, saya termasuk mahasiswa berprestasi dan berhasil memperoleh beasiswa. Di tahun ke 4, saya membaca bahwa ada kesempatan mahasiswa untuk pergi ke Jerman untuk bekerja dan sekaligus memiliki kesempatan untuk Kursus Bahasa Jerman selama 1 tahun, biaya selama setahun di Jerman biaya hidup dan kursus dibayarin oleh keluarga tempat saya tinggal di Jerman , saya hanya wajib menyediakan ongkos berangkat dan biaya pembuatan visa. Saya pun mengajukan proposal ke Bapak tentang keinginan saya untuk ikut program tersebut. Lagi-lagi dia termenung tetapi dia tidak pernah mampu untuk menolak keinginan saya, akhirnya dia berusaha menyediakan uang yang saya perlukan dan setelah dokumen beres , saya pun berangkat ke Jerman!.

Abah, semua perjuanganmu , kegigihanmu, kasih sayangmu sudah tergurat didalam hati, tidak akan pernah terlupakan. Kegigihanmu akan ku tauladani.

Karena perjuangan kalian (Abah dan Umi), saya orang kampung yang jauh dari kaya, bisa menginjakan kaki di daratan Eropa. Kalian telah mengantarkanku ke kehidupanku kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun