Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Blogger - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerpen | Menunggu Hilal

23 Mei 2020   23:01 Diperbarui: 23 Mei 2020   22:59 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hilal telah tampak, Mbah. Besok jadi kita lebaran"

Mbah Tun cuma manggut-manggut mendengar ucapan Parmin. Dalam hatinya ia menyimpan segudang tanya, hilal telah nampak tapi Putranya Hilal belum juga nampak batang hidungnya.

"Saya permisi dulu, Mbah" Parmin pamit setelah meletakkan beras sekarung di dekat pintu ruang tengah.

Mbah Tun tak membalas, pendengarannya memang sudah berkurang sedari setahun yang lalu. Satu-satunya yang masih ia dengar dengan jelas adalah suara adzan dari musholla dekat rumah karena suaranya yang sangat keras.

Mbah Tun tak pernah terlambat mengambil air wudhu. Jika tak hujan ia akan salat berjamaah di musholla, tapi jika hujan ia memilih menggelar sajadah di kamar saja. Jalan menuju musholla cukup licin ketika hujan. Beberapa kali Mbah Tun dibuat terpeleset dalam perjalanan pulang selepas salat subuh.

Beruntung kala itu ada Mbah Min yang berjalan di belakangnya dan langsung sigap membantu Mbah Tun berdiri sekaligus memapahnya sampai rumah. Hari masih gelap kala itu dan ayam pun masih enggan membangunkan orang-orang.

Mbah Tun trauma setiap kali jatuh, ia berpikir bagaimana jika ia mati tanpa sempat bertemu anaknya. Maka dari itu Mbah Tun selalu berusaha keras untuk tetap sehat, bahkan ia sudah mengurangi aktivitas berladang agar tidak terlalu kelelahan.

Di malam takbir, Mbah Tun masih berkutik di dapur, membubuti ayam yang tadi sore ia sembelih dengan bantuan Parjo anak tetangganya. Tubuhnya yang ringkih tak kuasa jika harus memegang dan memotong kepala ayam seorang diri.

Mbah Tun sengaja membuat kuah opor lebih banyak. Selain opor ia juga memasak ketupat 30 biji. Hilal suka sekali ketupat, dalam setengah hari ia bisa menghabiskan 6 ketupat seorang diri. Meski kuat makan tapi badannya tidak gemuk juga tidak kurus. Ia terlihat hampir sempurna kalau saja kaki kanannya tidak sedikit pincang.

Sudah hampir tengah malam ketika ketupat dan opor ayam selesai di masak. Dulu ia tak memasak selama itu, sebelum bedug maghrib ia pasti telah menyelesaikan masakannya lebih dulu. Kini geraknya semakin melambat, jalan sudah tak lagi tegak, penglihatan dan pendengaran juga sudah menurun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun