Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Blogger - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dongeng Bapak dan Pertengkaran di Media Sosial

6 Juli 2018   11:32 Diperbarui: 7 Juli 2018   11:13 2277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semasa kecil, sebelum tidur, Bapak sering mendongeng. Alasannya tentu bukan karena beliau paham segudang manfaat dari mendongeng tapi karena saya tidak bisa tidur dan ibu saya yang kerja sebagai buruh pabrik sedang kena shift malam.

Di masa-masa online seperti ini banyak hal yang tak bisa saya ingat, apa yang saya tulis di timeline tahun lalu, bulan lalu bahkan hari lalu, saya tak bisa mengingatnya. Tapi saya masih ingat betul dongeng-dongeng yang Bapak ceritakan 20 tahun lalu.

Kala itu Bapak tidak tahu bahwa usia 0-5 tahun anak adalah masa emas di mana pertumbuhan otak mencapai 70% hingga 80% atau berada di tahap maksimal. Yang Bapak tau hanyalah, anaknya tidak bisa tidur dan ingin mendengar sebuah cerita.

Salah satu dongeng saya ingat betul adalah tentang 3 orang buta yang sangat ingin mengetahui rupa gajah. Ceritanya dahulu kala ada 3 orang buta yang bernama Manu, Mana, dan Mono yang ingin pergi ke kebun binatang demi menuntaskan rasa penasarannya akan gajah. Sampai di kebun binatang mereka pun dibantu seseorang menuju ke tempat gajah sekaligus menuntun mereka untuk memegangnya.

Sampai di sana Manu membelai-belai ekor gajah, Mana membelai-belai telinga gajah, dan Mono membelai badan gajah. Setelah puas mereka pun saling bercerita.

Manu: Sekarang aku sudah tahu gajah itu seperti apa, rupanya gajah itu panjang seperti ular.

Mana: Aku lebih tahu, bukan panjang gajah itu pipih, njepiping seperti kipas.

Mono: Ngawur! aku sudah memegang sendiri, yang benar gajah itu seperti gedhek (tembok), rata dan kasar.

Mereka pun bertengkar demi mempertahankan pendapat masing-masing. Saling menyalahkan dan membenarkan diri sendiri. Melihat itu, orang yang tadi mengantar pun menyela. "Sudah-sudah jangan bertengkar, kalian tidak salah tapi juga tidak benar, sebenarnya yang berkata gajah itu seperti ular dia tadi hanya memegang ekornya, yang bilang seperti kipas itu dia memegang telinganya dan seperti tembok itu dia memegang badannya."

Dongeng Bapak berakhir happy ending, ke tiga orang buta tersebut mulai memahami kesalahan masing-masing, saling meminta maaf dan saling memaafkan.

Melihat situasi media sosial akhir-akhir ini saya kembali teringat dongeng-dongeng Bapak. Jika dulu sewaktu kecil saya berpikir makna dari dongeng tersebut adalah jika kita tidak bisa melihat, kita tidak boleh sok tau dan ngeyel dan dilarang bertengkar maka sekarang saya berpikir lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun