Mohon tunggu...
TRIAN LESMANA
TRIAN LESMANA Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Suka buku. Belum suka membaca. Apalagi menulis. | Pernah belajar di LPM Kalpadruma & Sastra Indonesia FIB UNS Solo. Sekarang di Grasindo Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Jakarta dan Rasa-rasanya

27 Januari 2016   07:36 Diperbarui: 27 Januari 2016   07:54 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore tadi saya banyak merenung di tengah kemacetan kota. Saya bersyukur sampai saat ini (Alhamdulillah) tidak pernah mengeluh soal macet di Jakarta. Saya sepenuhnya menerima kondisi kota ini apa adanya. Sebelum hijrah ke Jakarta awal tahun ini, terlalu banyak informasi yang mampir di telinga saya seputar Jakarta. Dan kemacetan merupakan permasalahan yang wajib ada di dalamnya.

Jakarta banyak pilihan. Jakarta menyediakan apa yang manusia butuhkan. Jakarta menyediakan kemarahan, kecemasan, kenahasan, kepelikan, sekaligus kesenangan dan kegembiraan. Tinggal pilih.

Selama dalam perjalanan dua jam dari Palmerah kemudian transit di Tanah Abang sebelum melanjutkan ke Matraman, saya melihat dan mencoba menghayati kehidupan. Melihat orang-orang silih berganti masuk dan meninggalkan Kopaja. Melihat para pemotor lihai bermanuver mencari celah jalan di tengah kemacetan.

Di Tanah Abang terlihat ramai karena memang saat itu jam pulang kerja. Para pekerja mengantre di stasiun. Ada yang dengan susah payah menyeberang jalan karena saking ramainya jalanan. Ada yang agak berlarian. Oh, inilah Jakarta. Saya tak pernah melihat yang beginian di rumah maupun di Solo.

Saya bercermin. Melihat diri sendiri. Ternyata saya adalah bagian dari mereka. Pergi pagi pulang dari kantor sore. Kadang kepayahan ketika hendak menyeberang. Soalnya pengendara di Jakarta itu beda sekali. Pengendara di Jakarta punya seribu akal membuat jalurnya sendiri. Suka ngebut tapi juga tetiba ngerem. Lincah.

Saya melihat beberapa orang menyeberang bersama seorang bule. Sepertinya mereka berteman. Tiba-tiba ada bajaj yang hampir menyerempet mereka. Bajaj itu lewat trotoar dengan kecepatan tinggi, bahkan sedikit ngetril--karena kontur trotoar bergelombang. Si bule berkejut dan berkata keheranan, namun tak saya dengar. Saya hanya mendengar teriakan salah seorang temannya, "Hey, this is Indonesia, man!" Si bule pun baru sadar bahwa ia sedang berada di negeri yang tak ada duanya, aneh, ajaib. Kemudian mereka tertawa (bahagia).

Di dalam Kopaja yang saya tumpangi tak kalah seru. Tak seperti Kopaja pada umumnya, Kopaja ini terasa ramah. Mungkin karena si Sopir dan si Kenek berasal dari Jawa--seperti saya. Nada bicara mereka ramah seperti orang tua Jawa pada pada umumnya. Suka bercanda dan grapyak (suka bertegur-sapa).

"Kambing kakinya berapa? Siapa bisa jawab? Nanti aku kasih diskon," tanya kenek Kopaja yang saya tumpangi, Blangkon, kepada semua penumpang. Nama itu diberikan si Sopir kepadanya. Mungkin karena dia suka memakai Blangkon--seperti hari ini. Mereka ngobrol berbahasa Jawa dengan asyiknya sepanjang perjalanan.

Pertanyaan Blangkon awalnya tak mendapat respons dari penumpang. Sampai kemudian Blangkon mengulanginya sambil menanyai beberapa penumpang secara acak. Barulah para penumpang bersahutan memberi jawaban, namun tak ada yang benar--menurut logika Blangkon. Akhirnya Blangkon sendiri yang menjawab pertanyaannya.

"Kambing kakinya delapan. Dari depan ada dua, dari belakang ada dua, dari samping kanan ada dua, dari samping kiri ada dua," jawabnya.

"Kok gitu, pak?" kata seorang penumpang penasan dan terheran, kelucuan apa yang hendak diperbuat Blangkon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun