Desa Kradenan, yang terletak di Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi, merupakan salah satu desa tua di ujung timur Pulau Jawa. Desa ini memiliki sejarah panjang yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Blambangan.
Berbeda dengan Bali, masyarakat Hindu di Kradenan tidak mengenal sistem kasta. Identitas mereka lebih menekankan pada kesucian, bukan garis keturunan. Seorang pandita dihormati karena kesuciannya, bukan karena lahir dari keluarga tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai kejawen masih dijunjung tinggi dalam praktik keagamaan masyarakat Kradenan. Nama-nama Hindu Bali pun jarang ditemui di sini. Masyarakat lebih memilih nama bernuansa Jawa atau Osing, sebagai bentuk akulturasi antara agama Hindu dan budaya lokal.
Salah satu budaya yang masih terjaga kuat adalah perayaan Hari Raya Galungan. Galungan di Kradenan berlangsung dengan nuansa khas Hindu Jawa, tetapi tetap memiliki kesamaan dengan Galungan di Bali. Hal ini wajar, mengingat letak geografis Banyuwangi yang sangat dekat dengan Pulau Bali.
Galungan di Kradenan diperingati setiap 210 hari sekali berdasarkan perhitungan wuku dalam kalender Hindu. Sama seperti di Bali, makna Galungan adalah kemenangan Dharma (kebenaran) atas Adharma (kejahatan).
Salah satu ciri khas yang menonjol dalam perayaan Galungan adalah pemasangan penjor—tiang bambu berhias janur, buah, dan hasil bumi yang diletakkan di depan rumah. Penjor tidak hanya berfungsi sebagai hiasan, tetapi juga melambangkan Gunung Agung sebagai sumber kehidupan, serta kemenangan umat Hindu.
Penjor harus dipasang sebelum pukul 12 siang, sesuai aturan adat, dan dilepas setelah 42 hari untuk kemudian dibakar. Hal ini melambangkan siklus kembali ke asal, sebuah konsep penting dalam ajaran Hindu.
Selain Galungan, umat Hindu di Kradenan juga merayakan hari-hari suci lain, seperti Nyepi, Saraswati, Pagerwesi, dan Kuningan. Setiap upacara memiliki makna tersendiri dan ditentukan melalui perhitungan weton dan wuku.
Ritual keagamaan selalu disertai dengan banten, yaitu sarana pemujaan berupa sesaji. Menariknya, cara pembuatan banten di Jawa sedikit berbeda dengan di Bali, meski kitab sumbernya sama. Hal ini kembali menegaskan sifat Hindu yang universal: di mana pun berada, agama ini beradaptasi dengan budaya lokal.
Galungan di Desa Kradenan bukan hanya perayaan keagamaan, melainkan juga refleksi tentang bagaimana Hindu tumbuh dan beradaptasi dengan budaya Jawa. Tanpa kasta, tanpa kehilangan identitas lokal, tradisi ini menjadi bukti harmonisasi agama dan budaya.