Pandemi Covid-19 yang selama ini telah melanda negara Indonesia maupun seluruh negara di dunia, merupakan salah satu musibah yang sangat mencekam. Tidak pantang menyerah setiap negara membuat bahkan sekedar mendatangkan vaksin sebagai upaya dalam memutus rantai covid-19.Â
Namun vaksin yang menjadi titik temu permasalahan sampai saat ini belum terdistribusikan merata. Walaupun kasus yang ada telah berkurang namun riskan juga virus itu dapat kembali ada.Â
Upaya demi upaya telah dilakukan untuk meminimalisir kasus covid-19 Â salah satunya dengan cara hidup lebih sehat serta mematuhi apa yang menjadi himbauan pemerintah kepada masyarakat
Protokol kesehatan menjadi benteng bagi pemerintah kepada masyarakat akhir ini menjadi sebuah upaya dalam memutus rantai covid-19.Â
Bahkan kegiatan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) dibuat oleh pemerintah sebagai langkah antisipasi agar virus Covid-19 tidak meluas serta semakin memperburuk kondisi pandemi saat ini. Kegiatan PPKM diatur dalam  Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 Tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 Di Wilayah Jawa dan Bali.
      Â
Pelaksanaan peraturan tersebut diantaranya dengan menerapkan 5M (Mencuci Tangan, memakai masker, menjaga jarak, Â mengurangi mobilitas, dan menjauhi kerumunan). PPKM dilakukan untuk memutus rantai penularan virus covid-19. Maka dari itu perapan PPKM harus dilakukan untuk menekan persebaran virus, baik PPKM yang berupa peraturan pemerintah ataupun dari kesadaran masyarakat.
Kepatuhan terhadap PPKM oleh masyarakat hendaknya tidak hanya didasari oleh kepatuhan terhadap pemerintah, tetapi dapat juga didasari oleh kepatuhannya terhadap tuhan. Manusia yang beriman hendaknya patuh dan taat baik kepada Tuhan, Rosul, maupun kepada pemerintah (pemimpin) sebab hal itu juga dinilai sebagai ibadah. Perintah ketaatan juga didasarkan pada QS. An-Nisa :59 yang memerintahkan untuk mematuhi pemimpin diantara kalian.
Kegiatan Keagamaan
Islam merupakan agama yang diridhoi Allah SWT yang didasarkan pada QS. Ali Imron ayat 19 yang artinya: "Sesungguhnya agama di sisi (diridhoi) Allah  hanyalah Islam". Dalam agama Islam tidak selalu membahas mengenai akhirat, melainkan seperti masalah duniawi juga dijelaskan dalam Islam khususnya dalam kitab Al-Quran.Â
Satu sisi tentang Hablun minallah dan satu satu sisi membahas Hablun minannas. Sangat tidak dibenarkan apabila Islam hanya diartikan dari segi tekstual saja, melainkan banyak kitab yang menafsirkan Al-Qur'an dijadikan sebagai lantaran seseorang dalam menggali dan memaknai apa yang dimaksud setiap kalimatnya.
Dalam QS Al-Hujurat ayat 13 disebutkan: "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yakni berasal dari keturunan yang sama yaitu Adam dan Hawa.Â
Semua manusia sama saja derajat kemanusiaannya, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan suku lainnya. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal dan dengan demikian saling membantu satu sama lain, bukan saling mengolok-olok dan saling memusuhi antara satu kelompok dengan lainnya".Â
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwasanya di dalam Al-Qur'an tidak hanya membahas mengenai Hablun minallah melainkan juga Hablun minannas.Â
Sangat jelas dalam kalimat "...agar kamu saling mengenal dan saling membantu satu sama lain".
Rahmat yang dicerminkan oleh syariat Islam baik di dunia maupun akhirat, tidak serta merta terdapat dalam teks al-Quran dan Hadist secara tekstual.Â
Akan tetaapi terdapat banyak isyarat baik dalam al-Quran dan Hadist yang memberikan penjelasan dalam mempertimbangkan kemashlahatan-kemashlahatan baru yang tidak terdapat dalam teks. Syariat Islam hidup ditengah peradaban kehidupan manusia. Walaupun Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran Islam telah wafat, ajaran Islam akan terus hidup dalam konteks yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Di samping itu, banyak dasar-dasar dalam agama sebagai pokok masyarakat untuk melakukan kegiatan yang mampu memberikan kemaslahatan ditengah masa pandemi seperti ini. Meskipun kondisi dan situasi yang sedang mengalami PPKM namun tidak mengurangi nilai kegiatan keagamaan.Â
Pengurangan jumlah mobilitas dalam masyarakat sangat penting dan juga menjaga jarak antara satu dengan yang lainnya. Hal itu juga diterapkan dalam kegiatan ibadah khususnya dalam umat Islam.Â
Seperti berjam'ah di masjid dengan mengurangi batas kuota jama'ah 50% dari kondisi normal. Namun dengan pembatasan kuota jama'ah seperti ini tidak mengurangi antusias masyarakat untuk melakukan sholat jama'ah di masjid. Selain itu juga tidak menyimpang dari ajaran agama Islam.
Jika terdapat kewajiban beribadah yang mewajibkan umat Islam untuk melakukannya, namun bertentangan kemashlahatan, akan lebih baik jika ditunda terlebih dahulu.Â
Contoh konkrit dari keterangan tersebut adalah kewajiban puasa Ramadhan yang wajib bagi seluruh mukallaf. Tetapi jika keadaan jiwa berkehendak lain, dalam arti karena melakukan puasa akan mengancam keselamatan jiwa, maka puasanya boleh ditunda untuk diganti pada kemudian hari.
      Â
Menurut Saeful Aziz, beribadah dimasa pandemi Copid-19 seperti, mengganti Sholat Jum'at dengan sholat Dzuhur, meninggalkan sholat Jum'at bagi Muslim yang terpapar pandemi , tidak melaksanakan Sholat berjama'ah di Masjid, menutup sementara masjid, menggunakan masker dalam sholat, menggunakan hand sanitizer, seperti dibulan Ramadhan sekarang dengan tidak melakukan Buka puasa Bersama, tidak melakukan Sholat Taraweh dan Witir Berjama'ah di Masjid cukup dengan keluarga di rumah.Â
Tidak melakukan I'tikaf di Masjid, teknis mengeluarkan Zakat Fitrah dan mal dengan mengoptimalkan penjemputan oleh amilin, meniadakan pelaksanaan Idul fitri dan tradisi berma'afan secara langsung bersentuhan, Menunda pelaksanaan Resepsi dan aqad nikah dll.
      Â
Semuanya ini merupakan bentuk Ijtihad yang dilakukan oleh Ulama dan Ulil Amri di Indonesia untuk upaya lahiriyah memutus mata rantai penyebaran wabah yang akan menimbulkan kemadlaratan bagi dirinya dan kemadlaratan bagi orang lain (la dharar wa la dhiror) hal tersebut memperioritaskan keselamatan diri dan keselamatan bersama (fiqih al-awlawiyat).
      Â
Hemat penulis memahami pandemi seperti sekarang ini dapat kita sikapi dengan baik. Tidak semua kegiatan yang dibatasi itu menyimpang bahkan menghilangkan nilai pahala dalam beribadah. Banyak hal yang perlu kita pahami lagi, melihat dari pendapat Ulama yang berijtihad demi terwujudnya mashlahat bagi umat.Â
Ketika Ulama tidak mempermasalahkan adanya pembatasan kegiatan beribadah, cukup kita mengikuti arahan Ulama yang selama ini juga memperjuangkan agama sebagai penguat berdirinya sebuah negara. Tentunya mereka semua lebih memahami terkait kegiatan sosial beragama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI