Mohon tunggu...
Sunaryo Kaimuddin
Sunaryo Kaimuddin Mohon Tunggu... -

Sunaryo Kaimuddin..Lahir di Pulau Makasar, 17 November 1987, Seorang Alumni Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pulau Makasar dan Cerita Masa Lalu

1 Mei 2011   16:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:11 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nama Makassar begitu populer. Ada Kampung Makassar di Cape Town, Afrika Selatan, Makassar di Madagaskar, bahkan di Indonesia nama kampung Makassar begitu menggurita, pertanda hegemoni Makassar begitu besar pada masa lalu. Di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, tak terkecuali, ada sebuah pulau yang juga berlabel Makassar, namanya Pulau Makasar (bukan dengan dua 'S'). Banyak cerita tersimpan di pulau nan cantik itu.

Umur Pulau Makasar diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun. Ini dapat dilihat dari prasasti makam Sultan Buton VIII Mardan Ali atau Oputa Yi Gogoli yang terdapat di pulau seluas lebih kurang 10 kilometer persegi tersebut, antara tahun 1647 dan 1654. Hal itu dapat pula dikaitkan dalam sejarah Kerajaan Buton yang ditulis A Ligtvoet tahun 1887 yang menyiratkan asal-usul nama Pulau Makasar.

Disebutkan, pada tahun 1666 Gowa mengirim armada berkekuatan 20.000 personel untuk menggempur Buton yang dianggap melindungi Aru Palakka, pemberontak terhadap kekuasaan Raja Gowa. Aru Palakka yang adalah putra bangsawan Bone melarikan diri ke Buton pada tahun 1660. Dia diterima baik oleh Sultan Buton sehingga kemudian melahirkan ikrar kerja sama antara Buton dan Bone bahwa Buton adalah Bone Timur dan Bone adalah Buton Barat. Konon, waktu ke Buton, Aru Palakka ikut membawa putri Raja Gowa bernama Daeng Talele yang telah diperistri.

Pada akhir tahun 1666, Batavia mengirim pasukan ke Makassar lalu bergerak ke Buton yang sedang digempur oleh pasukan Gowa pimpinan Karaeng Bonto Marannu. Pasukan kompeni itu dipimpin Admiral Cornelis Speelman berkekuatan 500 orang Belanda dan 300 bumiputra, di antaranya termasuk Aru Palakka.

Pasukan Bonto Marannu pun kalah atas strategi militer dan persenjataan kompeni yang lebih modern. Sekitar 5.500 orangnya ditawan di sebuah pulau kecil di perairan Teluk Baubau. Pulau itu oleh orang Buton disebut Liwuto. Liwuto artinya pulau.

Tawanan perang tersebut kemudian dilepas oleh Sultan Buton setelah pasukan Belanda meninggalkan Buton untuk pergi ke Ternate. Menurut Ligtvoet, pelepasan itu dilakukan setelah pimpinan pasukan Gowa membayar tebusan.

Setelah peristiwa itu, Liwuto lebih dikenal dengan sebutan Pulau Makasar. Banyak versi yang berkembang ikhwal penamaan Pulau Makasar itu. Pertama, di sanalah tempat para hulubalang dan pendamping Arung Palakka diberi tempat bermukim oleh Sultan Buton karena enggan lagi kembali ke tanah Bugis.

Versi lain menyatakan bahwa pulau seluas 104 kilometer persegi itu diberi nama serupa dengan ibu kota Sulawesi Selatan karena di sanalah para pasukan Sultan Hasanuddin diberi wilayah permukiman. Sepasukan prajurit itu enggan pulang ke Gowa lantaran gagal menemukan buronan nomor satu Gowa, Arung Palakka. Selain itu, jika mereka gagal, maka hukuman dari raja sudah menanti.

Adapun pada versi lain ada klaim bahwa pulau yang diapit Pulau Buton dan Pulau Muna itu dulunya adalah tempat tawanan 5.500 pasukan Bontomarannu yang ditangkap oleh pasukan Kompeni-Arun Palakka yang didatangkan dari Batavia ketika Gowa menyerang Buton pada 1666.

Dalam perkembangannya lagi, tahun 1980-an, orang lebih populer menyebutnya Puma, singkatan dari Pulau Makasar. Walau nama Liwuto tetap diabadikan sebagai nama kelurahan di bagian timur pulau tersebut (Kelurahan Liwuto). Di Kelurahan Liwuto, terdapat satu kampung bernama Bone. Entah apakah ada kaitannya dengan nama Bone di Sulsel atau tidak, yang jelas, bone dalam bahasa lokal berarti pasir.

Perjalanan dari Kota Bau-Bau ke Puma tidak sampai setengah jam dengan menumpangi ojek laut “jarangka” atau perahu mesin tempel. Sepanjang perjalanan, kita dapat menyaksikan birunya laut yang masih relatif bersih. Sesekali kita melihat ikan melompat memperlihatkan kepalanya di atas permukaan air laut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun