Oleh: Syamsul Yakin (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Aida Hanifatunnisa (Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Secara bahasa, dakwah berasal dari kata Arab yang berarti memanggil, menyeru, atau mengajak seseorang kepada sesuatu yang baik, termasuk memohon dan berdoa. Dalam praktiknya, dakwah adalah kerja kemanusiaan yang sudah ada sejak lama, seiring dengan tugas manusia di bumi. Metode dakwah kini pun berkembang mengikuti kemajuan teknologi, memanfaatkan media sosial baik secara tradisional, konvensional, maupun virtual.
Dalam ilmu dakwah, materi dakwah biasanya bersumber dari ayat-ayat Al-Qur'an, hadits Nabi, pendapat para sahabat dan ulama, hasil penelitian ilmiah, hingga karya sastra. Metode penyampaiannya pun beragam, mulai dari ceramah, diskusi, konseling, karya tulis, hingga pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan.
Frasa "dakwah radikal" sebenarnya tidak tepat disandingkan dengan makna dakwah itu sendiri. Kata "radikal" secara etimologi berarti melampaui batas kewajaran, cenderung ekstrem, dan fanatik, yang pada prakteknya menolak pandangan lain dan kerap mengabaikan esensi syariat. Karena itu, istilah dakwah radikal bertolak belakang dengan hakikat dakwah yang mengajak pada kebaikan dan kedamaian.
Walaupun demikian, istilah dakwah radikal tetap digunakan untuk membedakannya dengan dakwah damai. Gerakan dakwah radikal lebih sering muncul sebagai bentuk provokasi atau ekspresi kekecewaan terhadap masalah sosial, ekonomi, maupun hukum. Sayangnya, ajaran agama sering diselewengkan secara sepotong-potong demi kepentingan kelompok tertentu.
Studi ini mencoba menganalisis fenomena dakwah radikal di media sosial melalui pendekatan teori hierarki pengaruh media. Menurut teori ini, pesan dakwah radikal yang tersebar di media banyak dipengaruhi oleh kebijakan internal organisasi atau tekanan dari pihak tertentu dalam organisasi itu sendiri.
Peneliti juga mengutip pemikiran Bernard Lewis yang berpendapat bahwa kelompok radikal selalu mengklaim diri mereka sebagai wakil ajaran Islam yang paling murni dan benar, meskipun kenyataannya mereka hanya mewakili sudut pandang tertentu. Untuk menanggulangi pengaruh dakwah radikal di media sosial, konten dakwah damai, dakwah moderat, dan dakwah berakhlak mulia harus diperbanyak agar khalayak punya pilihan informasi yang lebih menenangkan.
Dalam perspektif teori jarum hipodermik, pesan dakwah radikal memang seperti peluru yang langsung menembus pikiran audiens. Namun dengan teori uses and gratifications, audiens punya kebebasan untuk memilih konten yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Oleh karena itu, para pendakwah di era digital perlu kreatif, produktif, dan aktif menghadirkan konten dakwah yang membawa pesan damai dan menjawab kebutuhan spiritual masyarakat.
Tulisan ini juga menyoroti bahwa klaim kelompok radikal tentang otentisitas ajaran mereka sering bertolak belakang dengan interpretasi kelompok Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang lebih substantif dan kontekstual. Untuk itu, perlu ada upaya kolektif untuk meluruskan pemahaman yang keliru terkait khilafah, jihad, takfir, dan berbagai ide ekstrem lain yang marak di media sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI