PEMILIHAN Umum Presiden (Pilpres) memasuki babak paling akhir di Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyidangkan gugatan pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Prabowo-Hatta mendalilkan bahwa dalam pilpres terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif sehingga meminta MK membatalkan kemenangan Jokowi-JK. Namun banyak pihak menilai barang bukti dan kesaksian yang ditampilkan kubu Prabowo-Hatta di persidangan MK tidak cukupkuat untuk meyakinkan majelis hakim MK untuk membatalkan keputusan KPU tersebut. Tetapi semua pihak harus bersabar menunggu keputusan MK itu pada 21 Agustus nanti.
Sambil menunggu keputusan MK, Jokowi-JK yang sudah mengantongi keputusan KPU yang memenangkan mereka sudah melangkah lebih jauh dengan membentuk Tim Transisi. Kegiatan tim tersebut yakni menyiapkan langkah-langkah strategis pemerintahan Jokowi-JK setelah dilantik pada 20 Oktober nanti. Selain itu tim tersebut juga membahas APBN 2015 serta membentuk postur pemerintahan dan kabinet serta mulai melirik sosok-sosok yang dinilai patut menduduki jabatan menteri dalam kabinet mendatang. Semua itu dilakukan agar tim langsung bergerak setelah dilantik.
Tentu saja, Tim Transisi bukan satu-satunya tempat menggodok calon kabinet, malah sangat minim untuk tugas tersebut. Justru calon kabinet langsung ada pada Jokoowi-JK serta para pimpinan parpol pengusung Jokowi-JK. Tim Transisi malah menjadi semacam pengecoh, sehingga semua pusat perhatian ke sana, tetapi justru kawah candradimukanya berada di tempat lain, bukan di Jalan Situbondo, markas Tim Transisi.
Bersamaan dengan peresmian Tim Transisi dan pembukaan Kantor Transisi di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat itu, Jokowi juga meminta masukan dari masyarakat mengenai siapakah sosok yang dinilai layak menjadi menteri sesuai kriteria yang sudah dibuat Jokowi yakni bersih, tidak korup, tidak mempunyai jejak tercela, profesional dan lain-lain.
Salah satu nama yang masuk dalam bursa calon menteri yang banyak beredar adalah Puan Maharani, puteri dari Taufiq Kiemas (almarhum) dan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP. Puan yang juga Ketua DPP PDIP serta Ketua Fraksi PDIP DPR adalah puteri mahkota yang disiapkan untuk mewarisi trah Soekarno.
Bagi kalangan internal PDIP, Puan yang memegang trah Soekarno sangat disegani sama seperti para kader PDIP sangat menghormati Megawati. Namun Puan belum banyak pengalaman di bidang politik. Ayahnya (almarhum) dinilai terlalu berambisi mendorong Puan sehingga bergerak ke atas terlalu cepat melebihi kader lainnya untuk menempati posisi strategis di DPP PDIP.
Bisik-bisik kader PDIP sendiri menilai sekadar untuk menjadi Ketua Fraksi PDIP DPR saja sebenarnya Puan belum cukup mampu karena dalam posisi itu dibutuhkan orang yang luwes, pelobi yang handal tetapi tanpa meninggalkan prinsip dan ideologi partai, penghitung langkah politik yang cermat serta feeling politik yang terasah yang berangkat dari pengalaman. Puan belum punya itu semua, apalagi menjadi menteri, sebuah jabatan yang sangat strategis menyangkut bangsa, negara dan segenap rakyat. Dalam relasi dengan masyarakat luas tidak ada sekat dan masyarakat leluasa berbicara kritis, sangat berbeda dengan relasi internal PDIP yang masih cenderung primordial dan warna aristokrat masih amat kental.
Jika Puan menjadi menteri akan sangat membatasi ruang gerak dan manuver Jokowi. Misalnya, kini mulai muncul keberatan Puan terhadap rencana Jokowi agar menteri tidak merangkap jabatan dengan posisi di partai. Puan mengatakan hal itu belum dibicarakan di internal partai. Padahal PDIP selalu keberatan dan mengeritik adanya rangkap jabatan menteri dengan partai politik dalam Kabinet Indonesia Bersatu.
Kalau nanti Puan menjadi menteri dan tidak melepaskan jabatan sebagai salah satu Ketua DPP PDIP bahkan mungkin nanti menjadi Ketua Umum PDIP dalam Kongres PDIP mendatang menggantikan Megawati, posisi Jokowi menjadi lebih serba salah. Di satu sisi dia boss di pemerintahan sebagai presiden dengan anak buahnya para menteri, tetapi di sisi lain dia anak buah dari ketua umum partai yang menjadi menteri.
Hal lainnya adalah Jokowi suka melakukan evaluasi atas kinerja bawahannya. Sebagai Gubernur DKI Jakarta, dia terus menerus bongkar pasang para kepala dinas yang tidak cepat melaju bersama dia atau tidak melakukan gebrakan yang cepat. Walau orang Solo, Jokowi tidak memegang prinsip ‘alon-alon asal kelakon’ tetapi justru sebaliknya semuanya serba gerak cepat yakni menganalisis masalah secara cepat, cepat mengambil solusi, cepat menetapkan jalan keluar dan langsung mengeksekusi. Tidak boleh menunda-tunda. Jokowi menentang mental birokrasi dan partai politik yang gemar: ‘’kalau ada yang bisa dipersulit kenapa harus dipermudah, kalau ada yang bisa dilambat, mengapa mesti dipercepat?’’. Karena dalam prinsip tersebut ada aroma transaksional.
Jokowi juga sudah berjanji akan megevaluasi menterinya setelah dua tahun berjalan. Persoalannya dia harus menerapkan parameter yang sama untuk menilai kinerja para menterinya. Artinya dia mestinya tidak mengistimewakan Puan. Seandainya Puan dinilai berkinerja buruk, apakah Jokowi bisa memberhentikan Puan dari menteri? Pasti dia mempunyai hambatan psikologis untuk melakukan itu karena dia berhadapan dengan seorang pimpinan partai sekaligus puteri ketua umum partai.
Semua pimpinan partai politik pengusung Jokowi-JK terutama pimpinan PDIP harus menahan birahi kekuasaan untuk tidak menjebloskan Jokowi dengan memaksakan nama-nama untuk masuk dalam kabinet. Kegagalan para menteri itu adalah kegagalan Jokowi sekaligus kegagalan partai.
Sebaiknya Megawati meyakinkan Jokowi agar leluasa memilih para menterinya dan dia tidak melakukan intervensi apapun. Kalau pun Megawati melakukan intervensi, sebaiknya itu menyangkut agar Jokowi tidak memasukkan nama Puan dalam kabinet. Puan masih harus lebih banyak belajar politik dan tidak perlu terburu-buru karena dia masih muda dan perjalanan karir politiknya masih panjang. Jika itu dilakukan Megawati maka itu adalah andil dan kontribusi terbesar Megawati bagi suksesnya Jokowi lima tahun mendatang dan sekaligus Jokowi bisa terpilih kembali pada 2019. Pada tahun 2019 itulah Puan bisa berkontribusi dalam pemerintahan karena sudah cukup berpengalaman. Promosi apapun untuk Puan pada tahun 2019 bisa diterima khalayak dengan lapang dada jika dalam periode ini dia membuktikan kemampuannya.
Publik menilai keberadaan posisi dan jabatan Puan hingga saat ini sepenuhnya karena dikatrol. Puan belum membuktikan prestasinya sendiri, karena masih nebeng prestasi sang ayahanda almarhum atau ibunda Megawati. Jadi perlu paling kurangh lima tahun lagi untuk belajar.
Berikan kesempatan kepada Jokowi untuk memimpin bangsa ini lima tahun ke depan secara leluasa, tanpa ada bandul yang memberatkan langkahnya, tanpa ada beban psikologis yang menghantuinya. Jangan membiarkan Jokowi larut dan berlama-lama dalam pikiran seperti itu.
Partai NasDem telah memberikan contoh tidak akan mengajukan satu pun calon menteri kepada Jokowi-JK. Ketua Umum NasDem Surya Paloh hanya berkomitmen memperkuat sistem presidensial tanpa ingin menodainya dengan transaksi-transaksi fulus maupun kursi. Pimpinan partai politik semestinya mengikhlaskan kadernya memimpin pemerintahan tanpa harusmemberikan beban kepadanya. Kader partai yang terpilih menjadi presiden, dia telah menjadi milik segenap masyarakat, bukan lagi berada dalam kotak partai. Wakafkanlah kader partai untuk bangsa, negara dan rakyat, jangan seperti layang-layang dengan tetap memegang tali pengendalinya.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H