Kebahagiaan sejati lebih dari sekadar perasaan positif yang datang dan pergi; ia adalah rasa sejahtera yang mendalam dan bertahan lama (Seligman, 2011). Para filsuf seperti Aristoteles berpendapat bahwa kebajikan dan hubungan sosial merupakan kunci bagi eudaimonia, sementara Viktor Frankl (2006) melihat makna hidup sebagai sumber utama kebahagiaan. Gagasan ini serupa dengan pandangan Epikurus tentang kebahagiaan sebagai ataraxia, yaitu keadaan tenang dan bebas dari kekhawatiran (Priyono, 2016). Karena itu, kebahagiaan dapat dipahami sebagai hasil interaksi antara kondisi internal---seperti pikiran dan kesehatan---dengan faktor eksternal, seperti hubungan, pekerjaan, dan komunitas (Koran Sindo, 2018).
Dalam pandangan lokal, konsep 5W membantu kita memahami kebahagiaan sebagai pemenuhan lima kebutuhan dasar manusia: wareg, yaitu terpenuhinya makanan bergizi; wastra, sandang yang layak; wisma, tempat tinggal yang aman dan nyaman;Â waras, kesehatan fisik dan mental; serta waskita, akses pendidikan yang baik bagi generasi penerus. Pemenuhan kebutuhan dasar ini menjadi langkah awal menuju kesejahteraan hidup.
Namun, kebahagiaan tidak hanya berhenti pada pemenuhan kebutuhan pokok; ia juga membutuhkan penerapan prinsip hidup sederhana dan jujur, sebagaimana tergambar dalam konsep 6SA. Prinsip-prinsip ini mencakup sakepenake, hidup dengan cara yang benar;Â sabutuhe, sesuai kebutuhan; saperlune, seperlunya; sacukupne, memenuhi kebutuhan pokok; samesthine, melakukan sesuatu dengan cara yang tepat; serta sabenere, hidup sesuai aturan dan norma sosial. Dengan memegang prinsip 6SA, manusia diajak untuk seimbang dalam konsumsi, jujur dalam memperoleh sesuatu, dan menghormati norma sosial, sehingga terhindar dari keserakahan, kecemasan, dan ketidakbahagiaan.
Selain itu, penelitian dalam psikologi sosial juga menekankan adanya tiga penopang utama kebahagiaan: keluarga, pekerjaan, dan komunitas (Koran Sindo, 2018). Keluarga memberikan cinta, iman, dan dukungan emosional; pekerjaan menjadi sarana pemenuhan diri dan pertumbuhan profesional; sementara komunitas menciptakan lingkungan sosial yang positif yang mendorong interaksi baik dan keseimbangan mental. Ketiga penopang ini saling bergantung, sehingga jika salah satunya terganggu, dua lainnya pun cenderung terdampak.
Pada akhirnya, gagasan 5W, 6SA, dan Tiga Pilar Kebahagiaan sejalan dengan nilai-nilai Tri Hita Karana dalam budaya Bali, yang menekankan harmoni manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam. Dengan menjalani prinsip-prinsip ini, kebahagiaan tidak hanya sebatas perasaan pribadi, tetapi juga mencakup dimensi sosial dan spiritual, sehingga hidup menjadi lebih bermakna dan seimbang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI