Perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan hal yang sangat penting, karena KDRT termasuk pelanggaran hak asasi manusia dan bentuk diskriminasi terhadap martabat kemanusiaan. Kehadiran UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menjadi bukti nyata upaya negara dalam memberikan perlindungan hukum bagi korban. Namun, dua dekade setelah disahkannya, kasus KDRT justru terus meningkat, menandakan masih lemahnya implementasi hukum di lapangan. Berikut upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Peningkatan edukasi dan kampanye anti-KDRT secara menyeluruh hingga ke tingkat desa. Hal ini penting untuk menghapus stigma sosial yang membuat korban enggan melapor. Edukasi publik dapat difokuskan pada pemahaman mengenai definisi, bentuk, dan konsekuensi hukum KDRT, serta mempermudah akses pelaporan sebagaimana diamanatkan Pasal 12 UU PKDRT.
Perlindungan ekonomi bagi korban melalui restitusi atau ganti rugi dari pelaku. Saat ini, mekanisme restitusi belum diatur secara eksplisit dalam UU PKDRT, sehingga diperlukan revisi agar selaras dengan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, PP No. 44 Tahun 2008, dan PP No. 43 Tahun 2017.
-
Perintah perlindungan bagi korban perlu dioptimalkan. Pasal 10 dan 16 UU PKDRT sudah mengatur larangan pelaku mendekati korban serta kewajiban pengawasan aparat, namun minimnya aturan turunan membuat implementasi di lapangan belum efektif.
Peningkatan kapasitas dan keseragaman pemahaman aparat penegak hukum (APH) dalam menangani kasus KDRT agar tidak terjadi perbedaan penafsiran dan keterlambatan proses hukum.
Pemulihan korban harus diperkuat sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU PKDRT, dengan memperhatikan sinergi bersama UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Revisi perlu menekankan pentingnya rehabilitasi, layanan psikologis, serta kerja sama dengan lembaga seperti LPSK untuk menjamin pemulihan menyeluruh bagi korban.
Penguatan sanksi tambahan berupa konseling bagi pelaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf b UU PKDRT. Pemerintah perlu memastikan adanya anggaran dan lembaga pelaksana yang jelas agar sanksi ini berjalan efektif sebagai bagian dari upaya rehabilitasi sosial dan pencegahan kekerasan berulang.
Perlindungan hukum bagi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah hal penting untuk menegakkan hak asasi manusia dan keadilan sosial. Meskipun Indonesia memiliki undang-undang yang mendukung, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, angka kekerasan dalam rumah tangga masih tinggi. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat 28.789 kasus kekerasan, dengan mayoritas korban perempuan.Â
Kesenjangan antara hukum dan pelaksanaannya menjadi masalah utama. Banyak korban tidak mendapatkan perlindungan yang optimal karena faktor sosial dan budaya, serta lemahnya koordinasi antar penegak hukum. Negara harus menjamin perlindungan dan pemulihan korban. Untuk mencapai keadilan, perlindungan harus diperkuat melalui edukasi publik, penghapusan stigma, dan peningkatan kapasitas penegak hukum. Sinergi antara pemerintah, lembaga sosial, dan masyarakat penting dalam membangun sistem perlindungan hukum yang bagi korban. Upaya ini harus mencakup preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI