Mohon tunggu...
Fayruz Info
Fayruz Info Mohon Tunggu... Media Informasi

Lumbung informasi mahasiswa UIN Mataram

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Muslim perkotaan Semakin rasional, muslim pedesaan tetap tradisional ?, tafsir NU atas Realitas yang berubah.

18 Juli 2025   21:44 Diperbarui: 18 Juli 2025   21:59 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muslim Indonesia dalam suatu acara 

OlehM. Ziad Mustafid
Wakil ketua Sema UIN Mataram

Mengapa cara kita beragama di kota terasa berbeda dengan di desa?"
Pertanyaan ini mungkin pernah muncul dalam benak Anda. Coba perhatikan: di kota, khutbah Jumat kadang dibuka dengan kutipan filsafat Barat atau teori sosial kontemporer. Sementara itu, di desa, khutbah dimulai dengan kisah-kisah karismatik dari para kiai kampung, diselingi doa-doa yang diturunkan lintas generasi. Apa yang sesungguhnya terjadi? Apakah ini sekadar perbedaan geografis, atau kita sedang menyaksikan pergeseran mendasar dalam cara umat Islam memahami dan mengekspresikan keagamaannya?

Dalam konteks Nahdlatul Ulama (NU), perbedaan ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana tradisi-tradisi keislaman berinteraksi dengan realitas sosial yang terus berubah. Kota dengan segala hiruk-pikuk modernitasnya mendorong umat untuk merasionalisasi praktik keberagamaan lebih memilih diskusi intelektual, dialog antariman, hingga aktivisme sosial yang berbasis argumentasi. Sebaliknya, desa masih menjadi ruang di mana tradisi dan kearifan lokal dijaga, bahkan dilestarikan sebagai wujud dari keberagamaan yang hangat dan menyatu dengan budaya.

Namun, perubahan ini tak terjadi begitu saja. Ia diwarnai oleh dinamika organisasi dan gerakan mahasiswa Islam seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). PMII yang berakar pada tradisi NU sering menjadi jembatan antara rasionalitas kota dan spiritualitas desa.

Di ruang-ruang diskusi kampus, kader-kader PMII kerap membawa pesan-pesan tradisional dalam bingkai wacana kontemporer. Di sisi lain, HMI juga memainkan peran penting dalam menyemai pemikiran keislaman yang kritis dan terbuka terhadap modernitas, meski sering berjarak dengan akar-akar kultural Islam tradisional.

Lalu, bagaimana NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia membaca perubahan ini? Apakah tradisi keagamaan yang lahir dari pesantren dan desa masih relevan di tengah tantangan urbanisasi dan digitalisasi? Atau justru, ada usaha rekontekstualisasi tradisi agar mampu berdialog dengan zaman?

Tulisan ini akan mengajak Anda menyelami bagaimana tafsir NU terhadap realitas keagamaan yang makin rasional di kota dan tetap tradisional di desa. Kita akan menelusuri, bukan hanya perbedaan pola pikir, tetapi juga bagaimana gerakan mahasiswa seperti PMII dan HMI membentuk ruang-ruang interaksi antara nilai lama dan tantangan baru.

Rasionalitas dan Tradisionalitas dalam Tafsir Sosial Keagamaan

Perbedaan antara rasionalitas urban dan tradisionalitas rural bukan sekadar soal lokasi geografis, tetapi mencerminkan dua orientasi epistemologis dalam memaknai agama. Rasionalitas yang berkembang di kawasan perkotaan sering kali diasosiasikan dengan pendekatan tekstual-formal, yang menuntut koherensi logis, kepatuhan syariat secara ketat, dan efisiensi dalam praktik keagamaan. Di sisi lain, tradisionalitas yang mengakar di pedesaan lebih bersifat kultural-kontekstual, di mana agama dihayati sebagai laku sosial, diwariskan melalui simbol, ritus, dan relasi komunitas.

Konsekuensinya, dua dunia ini bisa mengalami ketegangan tafsir: di kota, Islam sering dibentuk oleh logika individu modern yang otonom dan kritis, sementara di desa, Islam cenderung mengakar dalam relasi komunitas yang hirarkis dan organik. Inilah yang oleh Prof. Amin Abdullah disebut sebagai perlunya ta'qul bayna al-'ulm---interkoneksi antar-ilmu untuk menghindari dikotomi antara wahyu dan realitas sosial. Amin menawarkan sebuah paradigma epistemologis yang mampu menjembatani rasionalitas tekstual dengan kompleksitas realitas hidup umat.

Lebih lanjut, Ulil Abshar Abdalla menambahkan bahwa tradisi bukanlah sesuatu yang beku atau mati, tetapi memiliki kemungkinan untuk ditafsir ulang. Ia mengkritik kecenderungan fundamentalisme yang lahir dari pemahaman teks yang tidak kontekstual dan cenderung mengabaikan sejarah. Bagi Ulil, Islam pedesaan yang diwariskan NU bukanlah bentuk kejumudan, melainkan bukti dari kemampuan Islam untuk berdialog dengan kultur lokal. Dalam kerangka ini, tafsir sosial keagamaan harus sanggup memelihara akar tradisi, sembari membuka cabang intelektual yang adaptif terhadap tantangan baru.

Sayangnya, sebagian elit keagamaan urban sering meremehkan bentuk-bentuk ekspresi Islam tradisional, dianggap tidak "ilmiah" atau bahkan dianggap bid'ah. Hal ini justru menimbulkan polarisasi dan fragmentasi sosial dalam tubuh umat Islam sendiri. Padahal, pendekatan tradisional menyimpan nilai-nilai sosial yang tak ternilai: kearifan lokal, solidaritas komunal, dan spiritualitas yang membumi.Oleh karena itu, tafsir keagamaan hari ini harus melampaui dikotomi "modern vs tradisional." Ia harus menjadi tafsir sosial yang dialogis, bukan hegemonik. Di sinilah peran NU sangat strategis: bukan sekadar mempertahankan tradisi, tapi merevitalisasi tafsir Islam yang mampu menjawab realitas sosial yang terus berubah tanpa mencabut akar kebudayaan umat. Selanjutnya yang harus kita perhatikan adalah apakah kaum muda yang berasal dari desa kemudian masuk organisasi keislaman memberikan implikasi terhadap praktik beragama di pedesaan dan di perkotaan atau justru mereka tidak mempunyai implikasi di dua letak geografis tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun