Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

"Revolusi Mental’’: Golden Ways ala Jokowi

12 Mei 2014   17:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:36 3858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13998735561774967426

[caption id="attachment_335871" align="aligncenter" width="598" caption="Tulisan Jokowi yang dimuat di Harian KOMPAS edisi 10 Mei 2014 (kompasiana.com/@kevinalegion)"][/caption]

Kalau di Kuba, Venezuela, Chile, dan negara-negara Amerika Latin, hingga Iran Timur Tengah. Kita mendengar fakta cerita heroic revolusi penyanderaan kekuasaan otoriter di tangan rakyat dan penghadangan kapitalisme terdengar membahana dalam proses politik yang pelik dan panjang, kini di Indonesia kita diperhadapkan dengan ‘’revolusi’’ baru yaitu revolusi mental ala jokowi. Rentetan cerita artificial yang hilang dari heroisme reformasi yang kedengarannya muncul ke permukaan secara tiba-tiba.

‘’Revolusi Mental’’?: Revolusi Sang Calon Penguasa

Revolusi mental menjadi ‘’mantra politik’’ Jokowi dalam menjawab kompleksitas persoalan kebangsaan yang mengemuka. Dari kemiskinan yang mencekik, kesenjangan sosial yang lebar, perampasan tanah yang massif, pendidikan dan setumpuk persoalan kesehatan, diidentifikasi sebagai persoalan mental. Hanya saja pertanyaan adalah mental siapa yang harus di revolusi? Bagi Jokowi persoalan ekonomi telah membaik hal ini diindikatori dengan masuknya Indonesia dalam 10 besar pertumbuhan ekonomi dunia dan stabilitas demokrasi politik semakin membaik, lantas menurut Jokowi protes-protes yang muncul riak dalam publik baik oleh masyarakat sipil hingga media menjadi fenomena apa yang harus dipahami? Dalam hal itulah Jokowi menempatkan ‘’mental’’ sebagai lakon pokok persoalan. Ketika ekonomi dan politik semakin membaik, maka protes-protes yang muncul tiada lain adalah adanya kesalahan mental, kalau bukan kesadaran yang keliru hingga hal itu dipersepsi sebagai prilaku yang amoral. Disini menjadi relevan atas revolusi mental/kesadaran.

Meski disisi lain ‘’mental’’ yang diterjemahkan sebagai suatu kesadaran moral, juga diasosiasikan dengan kecenderungan prilaku korup, rakusoportunis yang diidentikkan sebagai prilaku sosial orde baru, kesemuanya penyebabnya adalah mental. Singkatnya untuk menciptkan masyarakat Indonesia merdeka, adil dan makmur maka jawabannya bagi Jokowi adalah ‘’rubah mental’’ atau perbaiki moral. Kemiskinan dilokalisasi sebagai sebuah persoalan moral, bukan hanya menjadi lokomitif moral pejabat tapi juga orang miskin itu sendiri. Pertanyaannya apakah kesejahteraan dan keadilan dalam mengakses faktor produksi adalah persoalan moral?

Meski istilah revolusi mental ini masih terkesan abstrak untuk diartikukasikan dalam kebijakan politik, apa lagi memahami relevansinya dengan slogan Trisakti Soekarno. Penguatan nation building yang dimunculkan sebagai wujud pembangunan moral, sebenarnya merupakan slogan politik yang terkesan sudah ‘’kadarluarsa’’, sejak orde baru hingga sekarang, nation building sudah menjadi dagangan politik. Bukan hanya nation building menjadi abstrak untuk diartikulasikan dalam kebijakan politik rill, juga terkesan dangkal untuk memahami mengguritanya liberalisme/kapitalisme sebagai sebuah prilaku moral.

Keluar dari Analisa Struktural

Konsep revolusi mental ala jokowi yang ditulis di kompas (10/05) masih abstrak untuk dipahami secara rill, konsep pesan yang disampaikan terkerangkeng dalam bahasa universal, tak ada yang mencolok sebagai sebuah gagasan ideologis, seperti halnya dengan visi kandidat-kandidat lainnya. Kesan sebagai produk gagasan politik instan lebih mengemuka, apalagi untuk mengaitkan relevansinya dengan gagasan revolusi Soekarno, cenderung dipaksakan. Sebab gagasan soekarno dan revolusi mental lahir dari cara berpikir yang sangat jauh berbeda. Gagasan Soekarno tentang keberdaulatan politik, ekonomi dan budaya adalah gagasan kompleks untuk melihat keterkaitannya dengan posisi struktural kekuasaan yang bersifat objektif, penghadangan terhadap kapitalisme menjadi gerakan politik struktural hingga politik global. Sedangkan revolusi mental mendiversfikasi objek-objek politik masuk pada tatanan subjek sebagai sebuah kesadaran. Sehingga kata Jokowi ‘’perubahan harus dari diri sendiri, keluarga hingga Negara’’, terkesan sekadar menjadi utopia, gagasan yang umumnya muncul dikalangan parpol agamais, yang ironisnya diadopsi secara politik oleh partai nasionalis.

Ruang struktural dalam pembacaan Jokowi hanya berada pada ranah demokrasi birokratis, yang mengandalkan ‘’kebaikan-kebaikan moral’’ pejabat sebagai mesin utama bekerjanya visi revolusi mental. Penguatan birokrasi aparatur Negara sudah menjadi mesin politik yang telah dijalankan Jokowi di kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, ini mengesankan bahwa sosok Jokowi lebih cenderung sebagai sosok dengan tipikal pekerja ‘’administratif’’ ketimbang konseptual ideologis. Dalam konteks jabatan sebagai RI 1 dengan model pemerintahan desentralisasi (sebagian otonomi), peran politik administratif hingga blusukan menjadi tidak terlalu relevan, pembacaan politik ideologis yang menyeluruh dan global menjadi kebutuhan ketimbang bergelut dengan reformasi aparatur birokrasi internal.

Jokowi dan Segmen Politik

Gagasan yang bertumpu pada analisa moral Jokowi tidak lepas dari posisi politik jokowi. Secara politik Jokowi mengesankan diri berada ditengah-tengah dua poros kekuatan yang bersikukuh antara borjuis dan rakyat kecil (buruh dan pekerja). Sehingga sebagian orang menganggapnya sebagai ‘’borjuis kecil’’ yang bermodalkan populisme sebagai taktik politis para borjuis yang dimunculkan untuk tetap bertahan pada posisi politiknya dimata rakyat yang telah jenuh menelan pahit.

Sehingga upaya untuk menunggu gagasan progresif dan radikal sebagai visi politik Jokowi menjadi absurd, sebab hal tersebut dipengaruhi oleh posisi politik dan segmen politik Jokowi. Meski Jokowi terkesan lahir dari luar lingkar politik elit, tetapi tak pula ia terkesan lahir ditingkat kelas bawah, posisi sebagai kelas menengah lebih mencolok.

Begitupun Kalau kita membaca peta analisa politik diperhelatan gurbernur DKI Jakarta sebelumnya, Jokowi terbilang muncul lewat dukungan kelas menengah dan elit yang dominan, oleh karenaya kebijakan-kebijakan politik Jokowi dominan tak lepas dari eksistensi kelas menengah-elit Jakarta ketimbang merepresentasikan kepentingan kelas buruh dan pekerja. Hal ini dapat dilihat dari linglung-nya Jokowi untuk menentukan sikap politik tegas atas tuntutan-tuntutan buruh yang selalu mengisi perhelatan massa untuk mendapatkan keterbebasan dari penghisapan (may day). Begitupun kebijakan-kebijakan penertiban kota (pasar) yang menjadikannya populis, tak lain merupakan ‘’penggusuran-penggusuran’’’ rakyat kecil yang tampakannya lebih terkesan shaleh ketimbang rezim-rezim yang lain. Memperindah tata ruang kota jauh lebih menjadi kebijakan elitis mercusuar ketimbang menjadi kebijakan popular dimata kelas pekerja dan buruh.

Begitupun naiknya harga saham secara drastis atas resminya pencapresan Jokowi sebelumnya, merupakan semiotika penegasan dari popularitas posisi politik Jokowi di mata borjuis, yang tak lepas dari kepentingan survivalitas kepentingan borjuis, kacamata kelas borjuis memposisikan Jokowi sebagai sosok ideal tawar penawar perantara kepentingan, yang bisa lebih mudah untuk menenangkan buruh dan pekerja, berdasarkan kecenderungan politik perasaan yang ‘’dimainkan’’ Jokowi mengantarkannya sebagai figur populis.

Golden ways: Mario teguh ala jokowi

Revolusi mental pada kenyataannya lebih menjadi gagasan yang abstrak, mereduksi persoalan yang kompleks dalam ranah kesadaran, sembari berharap munculnya kesadaran kolektif yang massif (gerakan: kesadaran nasional) dikalangan pejabat dan rakyat, terkesan dogmatis dan utopis. Bukan hanya karena relevansinya dengan posisi struktur menjadi hambar, juga hakikatnya revolusi cara berpikir bukan persoalan yang instan, apa lagi menjadi persoalan yang layak didekati lewat instrument kekuasaan. Ranah kesadaran adalah ranah kultur yang dalam. Kita tidak berharap bahwa revolusi mental hanya muncul dalam bentuk persuasif sebagai wujud artikulasi politik, menyederhanakan lakon pokok persoalan ala Mario teguh, semudah membalikkan telapak tangan secara instan. Begitupun kita tidak berharap ‘’revolusi mental’’ menjadi wadah cuci tangan penguasa untuk berbelit dari dosa politik, apalagi berharap bahwa harapan populis berakhir dalam angan-angan bak mimpi disiang bolong.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun