Medan, 27 April 2025 - Di sepanjang ruas Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Bagan Batu, Riau, geliat aktivitas malam tak hanya berasal dari kendaraan yang lalu-lalang. Deretan warung remang-remang yang ramai disebut warga sebagai “warung esek-esek” bermunculan, menawarkan lebih dari sekadar makanan atau kopi. Fenomena ini, meskipun dianggap rahasia umum, terus bertahan di tengah upaya aparat menertibkan aktivitas liar di jalur vital penghubung Sumatera ini.
Warung-warung ini beroperasi secara terselubung. Pada siang hari, tampak seperti kios biasa yang menjual minuman dan makanan ringan. Namun saat malam turun, suasana berubah. Lampu-lampu redup, musik dangdut mengalun, dan perempuan-perempuan muda tampak duduk di depan warung, mengundang pengendara truk, bus, maupun kendaraan pribadi yang melintas.
Beberapa pengunjung mengakui, warung-warung ini telah lama menjadi "pemberhentian wajib" di jalur lintas. Tak sedikit sopir lintas provinsi yang singgah untuk "istirahat sejenak" sebelum melanjutkan perjalanan. Aktivitas ini berjalan diam-diam, mengandalkan kesepakatan tidak tertulis antara pemilik warung, pengelola jalanan, dan pelanggan setianya.
Fenomena "warung esek-esek" di Jalinsum ini sebenarnya bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba dalam masyarakat Indonesia. Jika ditarik ke belakang, akar praktik ini dapat ditemukan sejak masa kolonial Belanda, ketika rumah-rumah bordil resmi berdiri di banyak kota pelabuhan dan kawasan strategis ekonomi di Hindia Belanda.
Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, pemerintah kolonial melegalkan praktik prostitusi dalam bentuk rumah bordil atau bordeelhuis. Kota-kota seperti Batavia, Surabaya, Semarang, dan Medan memiliki kawasan resmi untuk kegiatan ini. Rumah bordil dikelola secara ketat, para pekerja seks wajib terdaftar dan menjalani pemeriksaan kesehatan rutin oleh dokter pemerintah untuk mencegah penyebaran penyakit kelamin.
Keberadaan rumah bordil pada masa itu juga memiliki fungsi sosial-ekonomi: melayani para serdadu, pekerja perkebunan, pelaut, dan pedagang yang hidup jauh dari keluarga. Selain itu, praktik ini juga menjadi ladang bisnis bagi pemerintah kolonial, karena rumah bordil dikenakan pajak khusus dan retribusi medis. Dengan kata lain, prostitusi kala itu bukan hanya diakui, melainkan juga menjadi bagian dari strategi pengelolaan tenaga kerja kolonial.
Meskipun bentuk dan sistemnya berbeda, warung esek-esek di Bagan Batu hari ini seolah menjadi warisan tak langsung dari konsep rumah bordil kolonial. Lokasinya di jalur perdagangan utama, melayani pekerja-pekerja jalanan (seperti sopir truk), serta berlangsung dalam suasana semilegal semua itu mengingatkan pada pola-pola lama zaman Hindia Belanda.
Namun, ada perbedaan mendasar. Jika pada masa kolonial praktik ini diawasi ketat oleh negara, kini aktivitas serupa berlangsung di bawah bayang-bayang hukum dan seringkali tanpa pengawasan kesehatan memadai, memperbesar risiko penularan penyakit serta pelanggaran hak asasi manusia. Penanganan terhadap warung-warung ini juga seringkali hanya bersifat insidental, melalui razia-razia sesaat tanpa solusi jangka panjang.
Pemerintah daerah Rokan Hilir sendiri beberapa kali melakukan operasi penertiban, namun sulit memberantas praktik ini sepenuhnya. Faktor ekonomi, minimnya lapangan kerja alternatif, serta tingginya arus lalu lintas Jalinsum membuat fenomena ini bertahan dan bahkan terus bertambah dari tahun ke tahun.
Selain membawa dampak pada kesehatan masyarakat, kehadiran warung-warung esek-esek ini juga berpengaruh pada wajah sosial Bagan Batu. Masyarakat lokal banyak yang resah, terutama karena aktivitas ini sering disertai dengan maraknya miras, perjudian kecil-kecilan, hingga kekerasan.
Fenomena warung esek-esek di Jalan Lintas Sumatera Bagan Batu menunjukkan bahwa bayang-bayang praktik masa kolonial belum sepenuhnya hilang dari kehidupan modern Indonesia. Apa yang dulu dilembagakan dalam bentuk rumah bordil resmi, kini bermetamorfosis dalam bentuk warung remang-remang di pinggiran jalan. Ini menjadi tantangan besar, bagaimana menata ruang publik, membangun kesejahteraan ekonomi, dan memutus siklus sejarah eksploitasi yang terus berulang, dari masa kolonial hingga masa kini.