Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis yang paling umum dan berdampak besar terhadap kualitas hidup, terutama pada anak-anak. Penyakit ini ditandai oleh kejang berulang akibat aktivitas listrik otak yang tidak normal. Pengobatan utama epilepsi adalah penggunaan obat antiepilepsi (OAE) yang bertujuan mengendalikan kejang dan meminimalkan efek samping. Namun, penggunaan obat ini tidak tanpa tantangan, terutama terkait keamanan dan efek jangka panjangnya pada organ vital seperti hati dan metabolisme tulang.
Fenomena yang saat ini banyak mendapat perhatian adalah pengaruh obat antiepilepsi terhadap fungsi hati pada pasien anak. Obat seperti fenitoin, fenobarbital, dan asam valproat adalah yang paling sering digunakan.Â
Studi terbaru di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar menunjukkan bahwa fenitoin dan fenobarbital relatif aman terhadap enzim fungsi hati (SGOT dan SGPT), tanpa perubahan signifikan setelah terapi selama minimal tiga bulan. Sebaliknya, asam valproat menunjukkan peningkatan signifikan pada kadar SGOT, menandakan potensi risiko hepatotoksisitas yang perlu diwaspadai dan dipantau secara rutin (Tantriawan, 2024)
Selain itu, penelitian lain mengungkapkan bahwa penggunaan obat antiepilepsi jangka panjang juga berpengaruh pada metabolisme tulang. Obat yang bersifat enzyme inducer, seperti fenitoin dan fenobarbital, dapat menurunkan kadar vitamin D, kalsium, dan fosfor dalam darah, yang berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan tulang pada anak penderita epilepsi. Kondisi ini menuntut perhatian ekstra dalam pemantauan status nutrisi dan suplementasi vitamin D pada pasien yang menjalani terapi antiepilepsi (Rajan et al., 2022)
Mekanisme kerja obat antiepilepsi juga menjadi kunci dalam memahami efek samping dan potensi risiko yang muncul. Fenitoin, misalnya, bekerja dengan menstabilkan kanal natrium pada membran neuron sehingga menghambat impuls listrik abnormal yang menyebabkan kejang. Meskipun efektif, fenitoin memiliki profil farmakokinetik yang kompleks dan rentan terhadap interaksi obat, sehingga pemantauan kadar darah sangat dianjurkan untuk menghindari toksisitas (Ismyama & Halizah, 2025) Sementara itu, asam valproat meningkatkan kadar neurotransmiter penghambat GABA di otak, memberikan efek antikejang sekaligus sedatif, namun harus diwaspadai risiko hepatotoksisitasnya.
Fenomena ini menegaskan pentingnya pendekatan pengobatan yang holistik dan personalisasi dalam terapi epilepsi anak. Tidak hanya fokus pada kontrol kejang, tetapi juga pemantauan fungsi organ vital dan status nutrisi pasien. Pendekatan ini dapat meminimalkan risiko komplikasi jangka panjang dan meningkatkan kualitas hidup anak penderita epilepsi.
Selain itu, perkembangan teknologi farmasi, seperti formulasi nano dan terapi yang disesuaikan dengan profil genetik pasien, menjadi harapan baru dalam meningkatkan keamanan dan efektivitas terapi antiepilepsi di masa depan. Penelitian berkelanjutan dan edukasi kepada tenaga medis serta keluarga pasien sangat penting untuk mewujudkan pengelolaan epilepsi yang optimal dan berkelanjutan.
Dengan pemahaman yang lebih baik tentang fenomena penggunaan obat antiepilepsi saat ini, diharapkan dapat tercipta kebijakan dan pedoman klinis yang lebih baik, serta kesadaran yang meningkat mengenai pentingnya pemantauan dan pengelolaan risiko efek samping pada anak-anak penderita epilepsi di Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI