Di masa setelah kemerdekaan filsafat garam cukup menjadi sebuah jurus dimana kita dapat mempersatukan negeri ini. Dikala itu di masa orde baru dimana partai komunis mulai runtuh, islam memiliki sebuah peran penting terutama dalam mendidik umatnya agar tidak terpengaruh kepada ajaran komunis. Dimasa orde baru juga islam menjadikan sebuah sumbangsih pemikiran kepada rezim Presiden Soeharto. Dikala itu Himpunan Mahasiswa Islam menjadikan harapan untuk menolong bangsa ini dari gejolak komunis, peran intelektual islam disini ialah membuat sebuah pemikiran yang dimana dikala itu seluruh organisasi harus berbasis ideologi Pancasila. Disini islam mengambil peran jalan tengah yang dimana islam dapat terbuka dengan ideologi Pancasila yang memiliki sebuah komitmen bahwa islam dapat merencanakan kehidupan bangsa.
Di samping itu filsafat garam mengenai keberadaan islam ini juga merembet kepada integrasi keislaman dan kebangsaan. Hal inilah yang menjadi kunci keberhasian intelektual islam dalam menanggapi dan menjadi aktor penggerak dari pergolakan perjuangan rakyat. Filsafat garam dan gincu ini juga merebak kuat didalam misi intelektual islam.
Penilaian kebangsaan dan keislaman ini mencoba melekatkan kepada hakikat kaum intelektual yang ilmiah,kritis,analitis dan nasionalis serta bukan hanya fiksi. Selain itu Filsafat garam dan gincu membawa nilai keislaman di dalam perjuangan yang dimana kita sebagai aktivis maupun kaum intelektual tidak boleh menepis dan melanggar ajaran keislaman dari Al-Quran dan Hadits. Melalui filsafat garam itulah kita dapat menjadikan diri sebagai kaum intelektual yang memiliki peran aktivis dalam segala dinamika perpolitikan dan sosial kemasyarajtan. Kalau bukan karena kita lantas siapa lagi yang mampu berperan di dalam menghadapi carut marutnya birokrasi kedepan.
Mari kita lihat dan refleksikan bersama  dengan memandang kedepan. Seperti kita ketahui ilmu pengetahuan adalah bentuk aset berharga yang tidak akan luntur di dalam kondisi apapun. Ilmu pengetahuan juga memiliki peran mengkritik dan mengkritis dinamika bobrok dari suatu rezim dan kepentingan. Ditambah dengan ilmu agama, negara yang memiliki kaum intelektual pasti akan mengalami masa dimana negara itu bergerak cepat di dalam penyingkapan segala problem-problem kehidupan. Dan jika semua itu sudah tiada maka kemunduran dari suatu negara bisa dihitung dari tahun ke tahun.
Sebagai generasi millennial yang kelak menjadi kaum intelektual sudah sepantasnya kita mengambil sebuah peran karena keprihatinan ini. Walaupun kadang kita sering dikritik oleh masyarakat yang kontemporer akan pemahaman, sudah selayaknya kita bertindak dengan penuh kebijakasanaan tanpa ada perlawanan fisik. Kita sebagai kaum intelektual juga bisa menggunakan filsafat garam ini di dalam bertindak. Bertindaklah semampu kamu tanpa harus menonjolkan bahwa kamu bertindak. Percuma kaum intelektual bertindak jika hanya menginginkan eksistensi belaka tanpa memikir sebuah kebermanfaatan. Tindakanmu sebagai kaum intelektual di dalam penyingkapan keadaan harus didasari pada kebermanfaatan terhadap korban dari problematika tersebut. Harapan negeri ini ada ditangan kita. Sudah sepatutnya peran itu kita lakukan secara perlahan dan penuh kehati-hatian. Terimalah kritik dikala kita sedang berjuang, kritik yang baik adalah kritik yang dilontarkan kaum intelektual kepada sesamanya ketika sedang bergerak dan berpikir menghadapi keadaan yang ada saat ini. Jika kritik itu bersifat sebagai penghancur atau pengancam maka kebijkasanaan yang bisa dilakukan oleh kaum intelektual ialah membuktikan semua omongan itu dengan prestasi perjuangan yang berdampak bagi segala elemen masyarakat di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H