Indonesia adalah negeri yang dimana banyak keanekaragaman budaya yang dijadikan satu dalam ikatan Ideologi Pancasila. Selain dikenal dengan banyak keanekaragaman budaya Indonesia juga tidak lepas dari keanekaragaman permasalahan. Permasalahan itu muncul seiring dengan berjalanya dinamika masyarakat kehidupan di negeri. Dinamika kehidupan negeri tersebut mampu memberikan dampak  di dalam memajukan pemikiran dan peradaban di masa depan. Salah satu pemikiran yang cukup mewakili dalam menyingkapi kondisi negeri ini ialah pemikiran dari salah satu tokoh intelektual Indonesia yaitu Muhammada Hatta.
Beliau adalah anak bangsa berdarah Minangkabau dan seorang muslim yang sangat taat. Beliau berpendapat, "pakailah filsafat garam, tak tampak tapi terasa. Janganlah pakai filsafat gincu tampak tapi tak terasa". Dalam mencetuskan pemikiran tersebut Muhammad Hatta juga mengaitkan sebuah harapan yang dimana kelak peradaban masayarakat dapat maju dengan berorientasi pada kondisi sosiologis dan atropologis yang universal.
Pemikiran tersebut muncul tidak begitu saja. Akan tetapi ada sebuah peristiwa yang membelakanginya pada tahun 1962. Pada tahun itu muncul gejolak kekecewaan dari aktivis islam kepada Bung hatta. Kekecewaan itu muncul sebagai bentuk kritik atas perilaku dari Bung Hatta yang nilai tidak melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik. Selain dari aktivis islam gejolak ketidakpuasan juga muncul dari kalangan insinyur. Situasi carut-marut juga didukung dengan adanya respon dari masyarakat yang menilai bahwa, Presiden Soekarno tidak menerima perkataan orang lain selain Bung Hatta yang berbicara.  Dan justru Bung Hatta yang seharusnya menjadi pendamping malah meninggalkan Bung karno yang membuat Bung Karno  bertindak semakin semena-mena.
Berbagai macam rangkaian kritik itu pun tidak ada salah satu darinya yang ditolak. Justru dengan penuh kebijaksanaan Bung Hatta memberikan perumpamaan dengan garam dan gincu. Dia disini menuangkan filsafat pemikiranya dengan lugas, " pakailah filsafat garam,tak tampak tapi terasa dan janganlah pakai filsafat gincu yang tampak tapi tak terasa. Sebagai salah satu kaum intelektual yang menanungi bangsa ini beliau berusaha untuk berdialetika dengan para tokoh aktivis dikala itu. Tujuan utama dari dialetika itu adalah beliau berusaha untuk mengiplementasikan garam kepada kehidupan berbangsa dan bernegara dengan nilai-nilai islam yang memiliki ahklak mulia dan berkeadilan secara transparan dan nyata. Pemikiran Bung Hatta itu pun menjadikan sebuah sudut pembanding dengan pemikiran dari Muhammad Natsir. Ditambah lagi Bung Hatta memiliki semua keberanian mengkritik Piagam Jakarta yang terletak kepada sila ke 1. Semula berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya". Hal yang berubah pada dasar sila 1 ini sudah menjadi hal yang maklum jika umat islam dikala itu yang mendominasi negeri ini bereaksi.
Namun hal itu bukan menjadikan bentuk kriminalisasi umat islam. Akan tetapi, hal tersebut adalah peran besar kaum intelektual di negeri ini untuk menjamin kesadaran beragama bagi agama minoritas. Jika kita bayangkan secara bersama, Sila 1 pada Piagam Jakarta yang semula berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya" masih tetap lestari maka tujuan dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat teralisasikan. Pada alenia 4 berbunyi "melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi,dan keadilan sosial...", maka semua penjabaran tujuan itu akan menjadi hampa belaka. Jika kita kupas islam memiliki peran yang besar di dalam tujuan itu, akan tetapi islam tidak boleh menjadikan dominasi keberadaan sebagai alat penghambat dari keberlangsungan bangsa ini. Islam adalah agama yang mampu menerima perbedaan. Terutama dinegeri kita yang kaya akan budaya dan suku bangsa.
Mengacu dari historis bangsa ini keberadaan islam yang disebarkan oleh para tokoh terdahulu cukup mendapatkan penerimaan yang baik. Dahulu bangsa memiliki sikap terbuka dan mampu menerima sebuah masukan dari para tokoh islam yang sedang berdagang di bumi nusantara ini. Selayaknya sikap tersebut sudah menjadi sebuah budaya terutama di masa kini.
Jika dahulu islam dan negeri ini dapat bersatu karena akulturasi budaya, lalu mengapa tidak di masa kini islam dan negeri ini bisa bersatu melalui implementasi yang berbeda.  Dari sinilah peran kita sebagai kaum intelektual harus diperankan. Melalui wujud kesadaran bagi para pemikir dan aktivis yang berusaha merealisasikan akulturasi islam dan negara ini seakan-akan menjadi sebuah kambing hitam umat islam. Ditambah lagi Bung Hatta dikala itu dinilai sebagai kaum nasionalis yang sekuler. Ia seakan-akan mendapatkan banyak kritikan yang menilai bahwa islam memiliki peran besar dan seharusnya islam layak menerima penghargaan berupa sila ke 1 berbunyi "Ketuhanan dengan menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya". Ditambah lagi menurut salah satu tokoh nasional yaitu Muhammad Roem memberikan pendapat bahwa dimasa itu pengorbanan perjuangan,pembentukan dasar negara,dan kemerdekaan kebanyakan digerakan oleh umat islam. Dan ia menilai sudah sewajarnya islam itu disebut di dalam dasar Pancasila. Dengan pendapat yang cukup masuk akal tersebut Muhammad Roem berusaha untuk meyakinkan kepada Bung Hatta bahwa, bangsa ini harus  menghargai jasa para pahlawan yang telah berkorban membentuk dasar negara.
Akan tetapi pendapat dari, Muhammad Roem tersebut hanya diterima oleh Bung Hatta tanpa ditindaklanjuti. Bung Hatta sebagai tokoh intelektual muslim juga memikirkan keberlanjutan muslim dimasa yang akan datang. Disinilah letak dari kecerdasan Bung Hatta terutama di dalam menjaga bangsa ini. Bung Hatta kemudian menafsirkan bahwa Pancasila itu dapat di kedepankan sebagai acuan mencari akar nilai-nilai ajaran islam. Ia juga berpikir bahwa kelima sila di dalam Pancasila itu memiliki kesinambungan. Ia menilai bahwa Pancasila itu memiliki sebuah kerangka filosofi dan etis. Bagi Bung Hatta Indonesia tidak berdasarkan agama tertentu. Baik yang mendominasi ataupun bukan itu sama sekali tidak berguna. Indonesia lebih merujuk pada bentuk moralitas beragama yang dapat merealisasikan sila-sila berikutnya hingga menjadi sebuah tujuan ahkir ideologi Pancasila.
Bung Hatta juga menilai bahwa sebagai kaum intelektual harus bisa menyingkapi kondisi negeri dengan menilai bahwa sila 1 berbunyi ketuhanan yang maha esa itu sudah cukup relevan untuk menjaga kemaslahatan negara dan masyarakat dalam kehidupan berbangsa. Bukti pemikiran beliau ini sudah cukup menjadi bahan untuk meyakinkan aktivis islam dikala itu. Walaupun masih tetap terjadi sebuah kontradiktif, akan tetapi itu bukanlah perusak karena negeri ini menghargai berbagai macam perbedaan. Bung Hatta adalah tokoh yang dimana berhasil meletakan islam dan pacasila dengan cara kontekstual. Walaupun ia dinilai sekuler, ia adalah tokoh yang mengerti islam dengan penilaian orang yang dikala itu mengenal Bung Hatta adalah seorang muslim yang taat dan konsisten.
Selain itu pemikiran dari Bung Hatta juga menjadikan dirinya sebagai God Father bagi tokoh-tokoh Masyumi. Pergaulanya dengan Masyumi ini cukup membuahkan kebermanfaatan dan menjadikan dirinya sebagai sosok yang cukup berpihak kepada islam. Bagi para tokoh Masyumi islam yang menurut Bung Hatta adalah islam yang tidak dipahami banyak orang secara formal. Akan tetapi, islam menurut bung hatta ialah model garam yang menjadikan nafas dari perjuangan dan pengabdian masayarakat. Filsafat garam Bung Hatta ini juga semakin menyelingi berbagai macam fenomena yang ada di negeri ini. Terutama pada dinamika pergerakan kaum intelektual dalam menyingkapi kondisi negeri di masa kemajuan peradaban. Islam bukan tentang agama semata akan tetapi, islam juga merujuk kepada pemikiran.