Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Lebaran dan Trik Memastikan Topik Tulisan

8 Juli 2016   14:47 Diperbarui: 8 Juli 2016   15:17 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi. Tukang Potret: A. Boby

Bagi saya, Jumat selalu menyenangkan. Bukan karena Jumat pekan ini masih liburan, melainkan karena Jumat selalu menjadi hari untuk menyenangkan diri sendiri. Ritual Jumat saya mulai dengan bangun jam tujuh pagi—akibat semalam begadang hingga subuh menyaksikan linangan air mata pendukung timnas Jerman—malas-malasan, lalu menyapa gelas kopi demi pagi yang syahdu.

Bersama kopi, saya kemudian menyapa penulis favorit—Seno Gumira Ajidarma—lewat novelnya Nagabumi: Jurus Tanpa Bentuk yang tebalnya 813 halaman dan baru bisa saya rampungkan dalam empat jam. Bersama kopi dan Nagabumi, sesekali saya sempatkan diri bercanda dengan teman-teman di Kompasiana, Twitter, Facebook, Instagram, dan Path. Juga melirik WA dan Line. Hingga tibalah jam sebelas, jam keramat setiap Jumat. Pada jam itu, bulu ketiak dan kumis saya akan mengucapkan selamat tinggal. Begitu pula dengan kuku tangan dan kaki. Setelah itu, barulah saya mandi.

Akan tetapi, saya tidak bermaksud mengisahkan kemalasan dan kesenangan saya pada tiap Jumat. Tidak juga ihwal kekalahan Jerman, keasyikan membaca Nagabumi, atau gurauan saya di media sosial. Kali ini akan saya guratkan hasil pertemuan dengan tamu mulia—Lebaran.

Ini hari ketiga Lebaran menemui saya. Kali ini ia tidak membawa kue-kue kering atau ketupat dan opor yang sudah berkali-kali dihangatkan. Ia datang sendirian, betul-betul sendirian. Oh, tidak, saya salah. Ia datang bersama Si Gembira dan Si Sedih. Keduanya tampak samar-samar berdiri di kejauhan, memandangi saya dengan tatapan nanar, seakan lewat tatapan itu mereka berkata "biarkan kami bermain-main di taman rasamu".

Benak saya bak disodok-sodok. Batin saya laksana diaduk-aduk dua jenis perasaan: kegembiraan dan kesedihan. Lebaran akan pergi, pasti pergi, dan saya tidak tahu apakah kami akan kembali bertemu atau ini adalah kedatangan terakhirnya menemui saya. Ketika menengadah, Si Gembira dan Si Sedih sudah raib. Mereka hilang, lesap ke sanubari saya.

Jika kamu tak ingin berduka, menulislah. Kalimat pembuka yang dituturkan Lebaran ini langsung menyentak batin saya. Seluruh isi benak saya serasa dikelupas habis atau, agar lebih menohok, ditelanjangi. Tapi saya tidak menyanggah, tidak juga mengiya. Saya tetap membisu dan membiarkan Lebaran berujar panjang lebar tentang kecerdikan memilih topik agar tulisan apik dan renyah dibaca.

Kata Lebaran, kecerdasan memilih topik dapat mengatrol tingkat keterbacaan. Topik itu seperti penampilan luar sebuah rumah yang hendak dibeli. Jika dari luar saja tampak kumuh dan berhantu, hanya orang tertentu yang tertarik membelinya. Atau, barangkali pembeli yang sudah masa bodoh karena tidak punya pilihan lagi. Sebaliknya, tampilan yang elegan dan anggun akan membuat calon pembeli—dalam hal tulisan kita sebut calon pembaca—penasaran untuk melihat-lihat isi rumah, bentuk kamar, suasana dapur, dan yang lain.

Saya tak tahu sejak kapan Lebaran menjadi amat cerewet. Anehnya, ini model cerewet yang saya suka. Maka, saya biarkan Lebaran terus berbicara. Tidak saya sanggah, tidak pula saya sela. Kemudian Lebaran bertutur soal ikut larut pada topik yang sedang mewabah. Tidak ada yang salah apabila kamu senang ikut arus, turut riuh menulis perkara yang sedang ramai dibincangkan, atau dengan riang menceburkan diri pada sensasi yang tengah populer. Itu sah-sah saja. Dengan catatan, kata Lebaran, kamu harus punya cara pandang berbeda atau mengulas perkara riuh itu dengan titik tumpu atau tilikan yang pas. Jika tidak, imbuhnya lagi, kamu tak lebih dari seorang pengekor.

Kali ini saya tidak dapat menahan diri. Segera saya tanyakan trik memilih topik, sesuatu yang kerap ditanyakan orang lain kepada saya.

Yang kamu sukai sekaligus kamu kuasai. Saya setuju pada alasan ini. Jika kita menulis topik yang kita sukai, kita serupa orang lapar yang bertemu makanan—apa saja pasti berasa enak. Jika kita menulis topik yang kita kuasai, kita akan serupa koki tersohor yang mampu mengurai-tuturkan resep dan racikan masakan olahannya—masakan yang pasti sanggup dibela lezat gurihnya. Sebaliknya, menulis sesuatu yang tidak disukai, apalagi tidak dikuasai, dapat membuat kita tersendat-sendat dan merasa tak enak hati. Dengan kata lain, informasi atau data yang kita miliki harus mencukupi. Jika tidak, kita bisa malu sendiri. Persis seperti memaksa diri memasak, hasilnya cuma dua: kalau tidak hambar, boleh jadi keasinan.

Bisa saja kita menulis topik yang kita tidak sukai—seperti saya yang tidak suka menulis soal gonjang-ganjing politik—asal kita mampu menuliskannya dengan sepenuh hati, bukan lantaran memenuhi selera pembaca yang sedang gandrung pada topik tertentu. Syarat utamanya, kuasai dulu topik itu. Akan sangat fatal bila sudah tidak suka, lantas kita tambah-tambah lagi dengan pengetahuan terbatas atau pemahaman seadanya atas topik yang kita pilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun