Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Sepuh Kampong Borongtammatea Melawan Belanda

11 Maret 2023   21:06 Diperbarui: 11 Maret 2023   21:08 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan Layar koran tua De Nieuwe Vorstenlanden No. 259 Edisi 9 November 1916 hlm. 2 tentang perlawanan Bagala bersaudara (Gambar: Dokpri)

TERSEBUTLAH KISAH 10 bersaudara. Masing-masing bernama Mallete Daeng Marewa, Bagala Daeng Tutu, Ballaco Daeng Mattawang, Pareang Daeng Tobo, Punte Daeng Palurang, Tole Daeng Rumpak, Manngakkasang Daeng Rani, Lasiuk Daeng Sitaba, Barrang Daeng Situru, dan Pammak Daeng Tompo.(1)

Mereka, adik-kakak putra Lambogo Daeng Patunrung,(2) anggota tubaranina(3) Kerajaan Binamu. Semula mereka menetap di Tanetea dengan menempati rumah yang pernah ditempati oleh G. Maan, pendeta yang diutus Belanda untuk menjalankan tugas misionaris di Turatea.(4) Setelah Mallete Daeng Marewa menikahi Dianne Daeng Baji Karaeng Bainea, 10 bersaudara itu pindah ke sebelah selatan Lantaka untuk membabat hutan dan membuka sebuah kampung. Kelak kampung itu dinamai Borongtammatea(5) karena banyaknya pohon tammate (kayu cina) di sana.

Keberadaan Mallete bersaudara tidak hanya tenar di kalangan pembesar Kerajaan Binamu, tetapi juga di kalangan Belanda. Mereka sangat disegani dan ditakuti oleh Dewan Hindia Belanda. Catatan penguasa Belanda dan warta yang disiarkan oleh koran berbahasa Belanda merupakan bukti kuat atas keberadaan pasukan elite yang digelari Pammonggana Turatea (Perusak dari Turatea) itu. Sepak terjang Bagala, misalnya, sangat ditakuti pasukan Belanda hingga ia digelari Bagalakna Bontotangnga.

Heroisme Mallete bersaudara dapat dilihat dari catatan Belanda tentang kisah I Tolok Daeng Magassing.(6) Kehebatan dan ketangguhan I Tolok Daeng Magassing dalam melawan penguasa Belanda sudah tidak perlu diragukan lagi. Saking hebatnya sampai-sampai kisah I Tolok dikuatkan dengan cerita rakyat dalam sinrilik berjudul I Tolok. Wilayah pemberontakan I Tolok mencakup Sanrabone dan Polombangkeng, sedangkan wilayah persembunyiannya berada di kawasan Bangkala dan Binamu.

Kala itu Kerajaan Binamu dipimpin oleh Palangkey Daeng Lagu Karaeng Mappalili Raja Binamu ke-18. Palangkey Daeng Lagu Karaeng Mappalili Raja Binamu ke-18 diangkat menjadi Wakil Regen Binamu (sekarang setara dengan Bupati) oleh Dewan Hindia Belanda pada 12 November 1870.(7)

Status Binamu diturunkan setingkat oleh Belanda dari regen menjadi subregen. Beliau menggantikan Sanre Daeng Nyikko Karaeng Bontoramba Raja Binamu ke-17 yang menjabat Regen Binamu pada 1 April 1867 hingga 11 November 1870.(8)

Pada 29 November 1872,(9) Palangkey Daeng Lagu Karaeng Mappalili Raja Binamu ke-18 dilantik menjadi Regen Binamu, setelah Binamu kembali dinaikkan status dan otoritasnya menjadi Regen. Beliau menjabat selaku Regen Binamu hingga 21 Juli 1906.(10)

Dengan demikian beliau menjabat Wakil Regen Binamu (12 November 1870--28 November 1872) dan Regen Binamu (29 November 1872--21 Juli 1906). Kedudukan beliau selaku Regen Binamu digantikan oleh Lompo Daeng Raja Karaeng Malompoa Raja Binamu ke-19 pada 22 Juli 1906.(11)

Lompo Daeng Raja, laki-laki berusia sekitar 48 tahun yang kala itu menjabat Regen Binamu, dianggap sebagai salah seorang pangeran terkaya di Sulawesi Selatan. Ia memiliki kawanan ternak yang banyak, kandang kuda yang besar, dan perkebunan yang luas. Sejak muda ia sudah diperkirakan akan menggantikan kekuasaan ayahandanya Palangkey Daeng Lagu. Pada 1906 ia sudah dipercaya oleh Dewan Hindia Belanda untuk menjadi Regen Binamu.

Namun, pada 1912 dia diusulkan oleh Asisten Residen di Bantaeng untuk diberhentikan karena pemberontakannya yang terus berlanjut. Penguasa Hindia Belanda tidak menanggapi hal itu dengan alasan bahwa tidak ada pengganti yang lebih baik yang dapat ditunjuk dan karena berharap dia akan meningkat di bawah kepemimpinan yang baik. Akibatnya, Asisten Residen seolah-olah kehilangan nyawa dan tidak lagi mengeluh. Hal itu berlangsung sampai 1914.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun