Kalaupun benar, harus jelas dulu batasan berpikir kritis yang dipakai sebagai tolok ukur. Jangan-jangan kita sendiri, kaum kolonial, yang membuat generasi milenial malas berpikir kritis. Repot juga jadinya jika pemerintah justru tidak mampu merangsang tumbuhnya kecakapan berpikir kritis.
Keempat, apakah jika generasi milenial sudah berpikir kritis maka mereka niscaya terbebas dari ancaman kuman terorisme? Jikalau tidak ada garansi yang jelas, pepesan kosong belaka. Peta jalan penanggulangan terorisme mesti dipertanyakan.
Jangan-jangan frasa "berpikir kritis" sebatas isu yang sengaja digoreng untuk menghindari kenyataan. Jika begitu, alamat makin keliru jalan yang ditempuh, alamat makin jauh sasaran yang mau dijangkau. Generasi milenial sudah mampu berpikir kritis, teroris tidak terkikis habis. Repot!
Kelima, apakah ada jaminan generasi milenial tetap aman jikalau mereka berpikir kritis? Soalan ini juga tidak boleh diabaikan. Mesti diacuhkan. Tengok saja iklim bermedia sosial dewasa ini. Ada yang kritis, jerat "pasal karet" dalam UU ITE bisa menjebak mereka.
Generasi milenial bisa-bisa terperangkap dalam situasi serbasalah. Tidak berpikir kritis disangka terpapar terorisme, berpikir kritis dituduh melanggar undang-undang. Tidak berpikir kritis dikira tertular intoleran, berpikir kritis digiring ke penjara. Simalakama!
O, tidak begitu. Lima pertanyaan itu bukan saya tujukan kepada generasi milenial, bukan. Target utama pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pemerintah selaku pelindung segenap tumpah darah rakyat. BIN dan BNPT termasuk di dalam barisan "pemerintah".
Sisanya, tertuju kepada orangtua yang selama ini "keteknya" menjadi benteng perlindungan kaum milenial. Hanya saja, tanggung jawab tidak bisa sepenuhnya dilimpahkan kepada orangtua. Lingkungan dan sekolah bisa pula turut andil dalam membentuk tradisi berpikir kritis.
Patut kita camkan, berpikir kritis lebih dari sekadar mampu berpikir. Jikalau generasi milenial mampu berpikir kritis, "generasi kolonial" harus siap-siap dicecar pertanyaan. Berpikir kritis sepaket dengan berani mempertanyakan sesuatu.
Jangan-jangan orangtua dan guru, misalnya, belum siap berhadapan dengan generasi milenial yang cakap berpikir kritis. Mereka yang berpikir kritis kontan disemati "tidak sopan". Pemerintah juga mungkin belum siap. Mereka yang berpikir kritis sontak digelari "para pembangkang" atau "para pemberontak".
Tidak sederhana, kan?
Maka dari itu, mari bersama-sama mengambil cermin. Jika muka kita yang buruk, jangan sampai kita beramai-ramai membelah cermin. Tidak begitu! [kp]