Lo, tunggu dulu. Di bawah artikel kan dicantumkan nama Sigit dan ada penaifan (disclaimer) di mana pertama kali artikel itu ditayangkan. Memang betul. Namun, itu argumen dangkal. Akal-akalan. Kilah yang dibuat-buat. Apakah Sigit sudah mengizinkan tulisannya dimuat di portal ente?
Selama redaktur tidak meminta izin kepada penulis, selama penulis tidak mengizinkan artikelnya dimuat, selama itu pula dapat dinamai sebagai pencurian karya intelektual. Bung, apakah Anda pikir Sigit tidak memeras otak untuk menulis artikel itu?
Kalau memang mau menayangkan artikel orang, siapa pun itu, belajarlah memakai etika. Intelek, dong. Jangan kayak penyamun di sarang pencuri. Hubungi penulisnya. Minta izin baik-baik. Bilang akan menyebut sumber. Tayangkan narasumber di bagian atas, bukan di buntut tulisan.
Berawal dari satu portal, akhirnya terjadi pencurian massal. Dapat kita bayangkan alangkah masif pengkhianatan atas kecendekiaan. Bolehlah malas dan tetap ingin menangguk cuan, boleh, asalkan jangan malas meminta izin kepada pemilik tulisan. Elegan, dong!
Kalau kalian enggan dicap pencuri, tolonglah belajar menghormati hak milik orang lain, termasuk properti intelektual. Jangan begitu, Kawan. Hanya karena penulis tidak memperkarakan bukan berarti tabiat konyol bisa terus dibiarkan. Stop tipu-tipu pembaca!
Jadi, tidak usah berdalih nama penulis dan sumber tulisan dicantumkan pada akhir tayangan. Itu omong kosong. Dusta besar. Selama kalian tidak meminta izin kepada bloger yang tulisannya kalian caplok, selama itu pula kalian layak disebut jurnalis garong. Marah? Silakan!
Saya ingatkan baik-baik pun belum tentu kalian dengarkan. Kuping sudah membatu niscaya sulit diberi tahu. Yang pasti, Kawan, saya punya bukti bahwa para pencuri properti intelektual di atas tidak meminta izin kepada bloger Sigit. Kompasianer itu sudah saya hubungi, kok.
Hargailah jerih pikir orang lain. Kalau pemalas, jangan menjadi redaktur. Oke? Jadi, stop tipu-tipu pembaca dan "menggarong otak bloger". [kp]