TIDAK banyak yang mesti kita lakukan apabila kita ingin terhindar dari tabiat rasial. Kita hanya perlu menempuh tiga jalan.
Pertama, menciptakan rasa aman dan nyaman di mana saja. Hanya karena berada di tengah-tengah ras bukan berarti kita beranggapan bahwa hidup kita sudah tamat. Tidak sekonyol itu, Onde-Onde Penyok. Rasa nyaman dan aman di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja justru dapat mengantar hati kita ke rumah tenteram. Maka jadilah pencipta rasa nyaman, bukan penyulut rasa benci.
Kedua, merawat empati kepada sesama. Hanya karena kita berbeda agama bukan berarti kita berhak menjadi hakim yang doyan mengadili orang lain sesuka hati. Tidak begitu, Remah Rengginang. Empati kita mesti bertumpu "manusia sebagai manusia". Dengan begitu, kita akan mampu memanusiakan manusia.Â
Ketiga, menjaga cinta kepada sesama. Hanya karena kita berbeda warna kulit bukan berarti kita boleh mengejek, menghina, atau merendahkan orang lain. Tidak begitu, Bajigur Asem. Cinta, ya, cinta saja. Jauhkan cintamu dari kotak sempit bernama suku, agama, ras, atau antargolongan. Dunia bukan daun kelor, Sambal Terasi.
***
PADA akhirnya, kita mesti mencabut pohon rasialisme di kepala kita. Cabut hingga ke akar-akarnya. Cabut, mumpung masih tauge. Jangan tunggu hingga pohon rasial di kepala kita memberingin. Jika telanjur tumbuh, tebang! Jangan tunggu hingga pohon rasial itu merimbun dan merumpun.
Kalau kita bisa hidup bergelimang cinta, kenapa mesti memilih hidup berselimut benci?
Salam takzim, Khrisna Pabichara