Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jurnalisme Bencana, Fakir Empati, dan Pemborong Goblok

10 Januari 2021   09:08 Diperbarui: 10 Januari 2021   09:23 2008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memburu narasumber (Sumber: 123rf.com)

"Apakah sebelumnya sudah ada firasat?" Narasumber belum sempat menjawab, pertanyaan kedua sudah menyusul. "Bagaimana perasaan Bapak?" Tatkala narasumber melengos sambil menyembunyikan air mata, pertanyaan ketiga terlontar. "Adakah pesan mendiang?"

Itulah tiga pertanyaan goblok yang sering sekali dilontarkan jurnalis kepada keluarga korban atau korban yang terkena musibah. Entah terbuat dari apa hati jurnalis yang menanyakan hal seperti itu. Nahasnya, pertanyaan itu selalu berulang. Tampaknya pertumbuhan otak jurnalis terlalu lelet sehingga tidak kunjung sedikit cerdas dan empatik.

Tiap-tiap terjadi bencana atau musibah, para pemburu berita seolah-olah menyimpan hati nurani mereka di rumah atau di kantor sebelum berangkat mencari informasi. Tidak heran jika banyak jurnalis yang kehilangan sensitivitas saat mengajukan pertanyaan. Kadang malah terkesan "memiara goblok".

Musibah pesawat terbang yang baru saja terjadi tak urung kembali menghadirkan ketidakpekaan kuli tinta dalam mengelola komunikasi publik. Media elektronik dan media daring berlomba-lomba memamerkan kehatibatuan. Jagat media sosial pun disesaki oleh netizen tukang borong goblok.

Sebaiknya para pengabar memahami dulu pengertian bencana baru terjun ke lapangan mencari, mengolah, dan menyajikan berita kebencanaan. Tidak asal berbekal kamera, alat perekam, dan tuntutan kejar setoran supaya memahami etika dan memiliki empati.

Jika merujuk UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pengertian bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam, maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Berangkat dari definisi tersebut, jurnalis mesti menyadari "korban jiwa" dan "dampak psikologis". Cukup dua hal itu dulu. Jika jurnalis sudah memiliki empati pada korban dan memikirkan efek traumatis yang mungkin timbul, pertanyaan konyol seperti "apakah ada firasat sebelumnya" atau "bagaimana perasaan Anda" tidak akan terlontar dari bibir.

Mengapa demikian? Sebab, jurnalis yang kaya empati akan menyadari bahwa bantuan yang dapat diberikan kepada korban atau keluarga korban bukan semata-mata bantuan materiel, melainkan dapat juga berupa dukungan moral.

Tidak menghamburkan pertanyaan yang nyelekit sudah dapat digolongkan ke dalam dukungan moral. Apabila wartawan menahan diri untuk tidak mengulik air mata, tidak mengobrak-abrik puing-puing ketabahan, dan tidak mengumbar kesedihan korban maka wartawan sejatinya sudah terlibat dalam proses bantuan penanganan bencana. Itu pekerjaan mulia.

Hanya saja, media sering sekali menurunkan jurnalis minim pengalaman dalam meliput berita tentang bencana. Sudahlah minim pengalaman, mereka tidak dibekali pengetahuan memadai sebelum diterjunkan ke medan musibah. Lengkap sudah.

Apakah hal semenyedihkan hati dan sememedihkan mata itu terus terulang? Bisa jadi selama pemilik dan pengelola media tidak membangun kesadaran mitigasi bencana. Selama berita naik tayang sekadar untuk meraup sensasi, selama itu pula jurnalis akan fakir empati.

Namun, kepandiran bukan hanya milik awak media. Netizen negeri plus enam dua juga mahir pamer tolol. Tidak sedikit warganet yang bertingkah konyol dalam menanggapi bencana. Tidak, ini bukan soal kehilangan selera humor atau Indonesia butuh tertawa. Tidak sesederhana itu.

Ketika kabar tentang pesawat SJ182 hilang kontak, ada-ada saja komentar warganet yang jauh dari etis. Salah satu contoh, ada warganet di Twitter yang mencuitkan "makanya kalau naroh kontak jangan sembrono". Bangke! Bercanda tidak perlu sebangke itu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun