Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Lema, 333 Artikel, Jam atau Pukul

23 September 2020   03:50 Diperbarui: 23 September 2020   04:30 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

/1/

Selamat pagi, Lema. Aku berharap kondisimu baik-baik saja. Tetaplah bertahan di dalam kamus. Kamus sedikit lebih aman dibanding berkeliaran. Kamu tahu, Lema, sekarang tubuh sangat rentan. Jangankan tamasya, ke warung tetangga saja mesti fasih menjaga diri. Ada korona, Lema.

Coba tengok matahari, Lema. Pagi ini ia tetap seperti kemarin. Ia tetap membagi hangat dan cahaya tanpa pilih kasih. Takpeduli tua atau muda. Takpeduli laki-laki atau perempuan. Takpeduli miskin atau kaya. Takpeduli pejabat atau hamba sahaya. Bagi matahari, semua diperlakukan sama.

Aku ingin seperti itu, Lema. Berbagi tanpa pilih kasih. Tentu saja berbagi sesuatu yang ada pada atau dalam diriku. Kamu tahu, Lema, aku tidak punya apa-apa selain ilmu. Itu pun secuil. Tidak seberapa. Meski begitu, aku ingin hatiku terus bugar agar senantiasa rajin memberi.

Tanpa terasa, Lema, aku sudah lima tahun di Kompasiana. Tunggu, Lema, aku harus mengambil tisu. Maaf, aku agak terharu. Tidak usah bertanya kenapa. Aku memang begini orangnya. Dulu takpeka, sekarang mudah tersentuh. Mungkin gara-gara korona, Lema.

Kita lanjut, ya. Selama lima tahun menghuni flat Kompasiana ini, ternyata aku tidak rajin-rajin amat mengunggah tulisan. Artikel sebanyak 333 jelas bukan angka yang lumayan jika dibagi dengan lima tahun. Penghuni lain, Lema, ada yang sudah ribuan dalam kurun yang sama.

Sebanyak 172 artikel dipercaya Admin K masuk dalam kategori Artikel Utama. Aku tidak tahu apa alasan mereka. Cuma sesekali kesal juga. Ada tulisan yang kuanggit setengah modar, eh, tidak masuk Artikel Utama. Padahal risetnya minta ampun, infografisnya dibikin selama berjam-jam, data dan fakta sempurna, serta kukemas sepenuh cinta. Ah, sudahlah. Bodoh amat.

Dari 332 artikel itu, Lema, ada 4 (empat) artikel yang tidak menerima merek Pilihan. Itu juga sempat bikin aku senewen. Apa gerangan dalih Admin K? Apakah tulisanku kurang bagus? Apakah patokan layak dan taklayak yang dilanggar oleh artikelku? Entahlah, Lema. Dua kata saja: bodoh amat.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Sekali lagi, Lema, aku cuma ingin menjadi seperti matahari. Berbagi tanpa pilih kasih. Memberi tanpa pandang bulu. Mengasihi sesama tanpa menilik latar. Aku berharap 537.375 pembaca yang telah mengulik artikelku dapat menuai manfaat. Itu saja.

Kamu lihat, Lema? Bahkan jumlah pembacaku pun cantik. Ada dua angka 5, dua angka 7, dan dua angka 3. Aku tidak akan membahas apa makna filosofisnya, sebab itu ranah pakar numerologi Rudy Gunawan. Dapur orang, Lema. Aku juga enggan mengudar inspirasi di balik angka 333, sebab Engkong Felix jauh lebih kentir dariku. Aku keder, Lema.

/2/

Flat modern bernama Kompasiana ini makin memikat hati, Lema. Tiap hari ada saja penghuni baru. Rupa-rupa isi otak mereka. Dari yang hobi mengulik politik hingga yang gemar mengulas gaya hidup. Penghuni flat ini memang sungguh luar biadab, Lema. O, maaf, maksudku luar biasa.

Mereka juga ramah-ramah. Ada yang sekadar singgah memberi nilai, ada yang singgah tanpa sungguh. Ada yang datang dan menitip pesan di kamar komentar, ada yang gemar bolak-balik berkomentar. Ada yang menanyakan ini dan itu, ada juga yang hanya menyapa.

Lema, kemarin ada tetangga kamar yang menanyakan sesuatu tentang kamu. Namanya Zaldy Chan. Kamu masih ingat, kan? Itu, Lema, tetangga yang sering sok akrab padahal memang akrab. Kamu sudah ingat? Ya, ya. Betul. Uda Zaldy itulah tetangga yang sering mengeluh takbisa menulis di kamar komentar. Kolokan.

Jangan tertawa, Lema. Ini perkara serius. Begitu, dong. Mengangguk. Kamu tahu, aku memang selalu serius dalam urusan bahasa Indonesia. Hahaha. Ayo, Lema, kita tertawa bersama. Kita kembali dulu pada pertanyaan Uda Zaldy. Ia menanyakan perbedaan antara jam dan pukul.

Iya, betul. Jam dinding. Namun, itu cuma salah satu definisi jam. Tunggu dulu. Kamu kentut, ya? Kok ada bau-bau menyan bercampur bangkai? Ah, tidak usah berkilah. Kita cuma berdua, Lema. Kalau bukan kamu berarti aku yang kentut. Hahaha.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Begini, Lema. Berdasarkan secubit ilmu yang kupunya, jam berhubungan dengan 'jangka waktu'. Itu yang pertama. Contoh: Sudah berapa lama menunggu, Lema? Dua jam. Kamu tidak bosan menunggu selama dua jam? Oh, ya, itu cuma contoh kasus.

Pengertian kedua adalah 'alat penunjuk waktu', misalnya jam tangan dan jam dinding. Pengertian ketiga adalah 'menerangkan keadaan atau kondisi tertentu', misalnya jam makan, jam tidur, atau jam sibuk. Eh, sekarang jam merindu. Ah, sudahlah.

Kalau dalam ragam cakapan, berarti bukan dalam tulisan, jam sah-sah saja digunakan sebagai varian pukul. Contoh: Jam berapa sekarang, Lema? Jam tujuh. Aku pertegas, Lema, itu kalau dalam ragam cakapan. Dengan kata lain, kalau kamu dan aku sedang mengobrol bolehlah kamu tukar pukul dengan jam. Asal jangan pukul hatiku selama berjam-jam.

Pukul? Sabar dikit, Lema. Pelan-pelan. Beri aku waktu untuk menghela rindu. Sabar saja. Semua akan pukul pada waktunya. Eh, salah. Semua akan indah pada waktunya. Oke? Begitu, dong. Kini kita ulas perkara pukul. Tidak usah seserius itu. Santai saja, Lema. Nah, tersenyum begitu kan elok dipandang.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Dalam perkara waktu, bukan dalam urusan hantam atau ketuk, pukul berarti 'saat yang menyatakan waktu'. Contoh: Pukul berapa sekarang? Pukul lima sore. Contoh lagi: Pukul berapa sekarang? Pukul 17.00. 

Kenapa ada pukul lima sore dan pukul 17.00? Kalau menyebut angka, pasti ada perbedaan. Selain pukul lima sore, ada juga pukul lima pagi. Berbeda dengan pukul 17.00 yang sudah pasti sore. Jadi, tidak usah kamu tulis "pukul 17.00 sore". Itu lewah. Mubazir.

Bagaimana menulis keterangan waktu dalam dialog? Ini yang masih perlu kita kampanyekan. Saat menulis waktu dalam dialog, mestinya memakai huruf. Bukan angka. Kenapa? Dialog itu percakapan. Sesuatu yang diomongkan.

Contohnya begini, Lema. "Dia pulang pukul empat belas." Itu berarti 'si dia pulang pukul dua siang'. Bisa juga ditulis seperti ini. "Dia pulang pukul dua siang." Jadi, bukan seperti ini. "Dia pulang pukul 14.00." Jangan ingat, Lema, dialog itu dilafalkan alias dieja.

Kenapa mengangguk-angguk? Oh, sudah paham. Tolong kencangkan sedikit suaramu. Belakangan ini kupingku agak pekak. Mungkin keseringan mendengar berita tentang korona. Sudah, ya. Syukurlah kalau kamu sudah paham.

/3/

Terima kasih untuk obrolan pagi ini, Lema. Jaga kondisimu. Usahakan pakai masker kalau keluar kamus. Jaga jarak dan jauhi kerumunan. Selain itu, rajin-rajinlah cuci tangan agar kulit tanganmu bersih saat menyentuh kulit wajah.   

Bukan cuci tangan dari masalah, ya?

Salam takzim, Khrisna Pabichara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun