Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Di Hadapan Kehilangan: Obituari Paseway Punda

6 Agustus 2020   06:26 Diperbarui: 6 Agustus 2020   11:01 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis bersama Paseway Punda (kanan) [Foto: Dokumen Pribadi]

Ketika menginjak tahun terakhir di SMP Tanetea, beliau memperkenalkan saya pada seni teater rakyat. Teater pakamelek-melek. Begitu orang Jeneponto menyebut seni peran ngabodor ala Makassar itu. Kata beliau, "Darah ibumu mengalir di tubuhmu!" Ya, ibu saya seorang aktris tanpa panggung di kampung yang mahir meniru suara dan akting orang lain.

Mengapa semua yang beliau ajarkan selalu meresap dengan mudah dan lancar? Karena beliau seorang guru yang ogah marah-marah. Dia khatam membenahi yang berantakan. Dia jago menambal yang kurang. Dia mahir menguatkan yang lemah.

Atas prestasinya membangun Kecamatan Tamalatea di dunia informasi dan komunikasi, beliau diundang ke Istana Negara oleh Menteri Penerangan pada 17 Agustus 1989. Beliau Jupen Teladan pertama dari Kabupaten Jeneponto. Pertama dan satu-satunya, sebab tidak ada lagi setelahnya.

Paseway Punda (alm.) ketika mengikuti acara Juru Penerang Teladan Tingkat Nasional di Istana Negara pada 17 Agustus 1989 (Foto: Dokumen Pribadi)
Paseway Punda (alm.) ketika mengikuti acara Juru Penerang Teladan Tingkat Nasional di Istana Negara pada 17 Agustus 1989 (Foto: Dokumen Pribadi)

Yang Mengajak Tanpa Menggurui

Semua saudara saya bersekolah di jalur pendidikan agama. Hanya saya yang memilih masuk SMP, bukan Madrasah Tsanawiyah atau Pondok Pesantren. Akan tetapi, paman yang tidak pernah mengeluh itu selalu punya cara untuk mengajak saya melakukan sesuatu. Ajakannya pun amat halus.

Kelas VI di SD Inpres Bumbungloe. Ya, sebenarnya saya merasa masih sangat kecil untuk ikut TM I Ikatan Pelajar Muhammadiyah. "Belajar agama itu tidak kenal usia," ucap beliau. Akhirnya saya ikut. Sejak itu saya malah ketagihan mengikuti perkaderan di organisasi otonom Muhammadiyah itu. Saya baru Kelas II SMP ketika selesai mengikuti TM III dan Latihan Instruktur I.

Hampir semua remaja di kampung saya aktif di ortom Muhammadiyah. Boleh dikata semua karena ajakan beliau. Rumahnya selalu menjadi tempat berkumpul para instruktur dari Ujung Pandang (sekarang Makassar). Selepas menjabat Sekum PC IPM Kabupaten Jeneponto (1990--1991), saya diminta mendampingi beliau selaku Sekum di PD Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Jeneponto.

Beliau sebelumnya sudah dua tahun menjadi Ketum Pemuda Muhammadiyah. Kami berduet pada 1991--1992. Sepulang mengikuti Tanwir Pemuda Muhammadiyah I di Bandung, anak bontotnya lahir. Saya, Jamil (sepupu saya), dan beliau menggodok nama si bontot di Benteng Somba Opu. Jadilah nama Nur Awwaluddin Tanwir. 

Satu lagi ilmu yang saya pelajari dari beliau adalah ilmu "memberi nama bagi bayi". Sekalipun beliau guru saya, tetapi dua putranya dinamai dari nama yang saya sodorkan. Saya tahu cara memilih dalih agar beliau setuju. Kakak Tanwir dinamai Nur Amin Rauf.

Nama itu diambil dari Amien Rais (Ketua PP Muhammadiyah saat itu) dan Amirullah Rauf Daeng Sibali (seorang penceramah masyhur saat itu). O ya, nama tiga putri dan dua putra beliau selalu diawali Nur. Cahaya. Dari matahari. Dari lambang Muhammmadiyah.

Paseway P bersama istri, Hajrah Silang. Pasangan yang sama-sama aktif ber-Muhammadiyah (Foto: Dokumen Pribadi)
Paseway P bersama istri, Hajrah Silang. Pasangan yang sama-sama aktif ber-Muhammadiyah (Foto: Dokumen Pribadi)

Yang Menasihati Tanpa Mengadili

Di mana ada Paseway di situ ada saya. Begitulah adanya. Ketika Desa Bangkalaloe mengikuti Lomba Desa Tingkat Sulawesi Selatan, nyaris tiap malam beliau mengajak saya bantu-bantu. Ada saja yang saya kerjakan. Dari melatih pembenahan administrasi sampai tata cara menyambut Tim Penilai. Begitu pula ketika musim lomba Kelompencapir mewabah.

Akan tetapi, saya sempat memprotes beliau lantaran selalu mengangkat kampung orang lain dan lupa pada kampung sendiri. Jadilah saat itu kami membentuk Kelompencapir Ma'bulo Sibatang. Kak Armin (sepupu saya) jadi ketua, saya sekretaris, Nur Syamsiani (putri sulung Paseway) bendahara. Setiap ikut lomba pasti selalu juara, sampai-sampai kami dilarang ikut lomba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun