Persis seperti tilikan pujangga kelahiran Solo, 20 Maret 1940, dalam sajak "Hanya". Hanya desir angin yang kaurasa, dan tak pernah kalihat angin itu, tapi percaya angin itu ada di sekitarmu. Itulah sketsa muram Indonesia hari ini. Kita memang masih mengaku sebagai satu bangsa, walaupun terkotak-kotak dalam kungkungan "merasa paling".
Apakah sebenarnya yang mendasari klaim sepihak kita sehingga kita "merasa paling" dibanding orang atau golongan lain? Tengoklah ke kiri dan kanan. Banyak orang atau sekelompok orang yang selalu merasa paling NKRI, merasa paling beriman, merasa paling hebat, merasa paling itu, atau merasa paling ini.
Tidak. Kita bukanlah siapa-siapa. Dunia yang kita tempati sekarang ini tidak lebih dari  rumah singgah belaka. Kita bukan siapa-siapa. Hatiku selembar daun, melayang jatuh di rumput. Begitu amsal diri kita di mata Sapardi. Hanya selembar daun. Sekarang hijau dan indah, besok-besok menguning di tangkai, lalu melayang di udara, lalu membusuk di tanah.
Hidup sementara ini tidaklah elok jika kita sesaki dengan benci-membenci, caci mencaci, atau umpat-mengumpat. Hidup singkat ini tidaklah berarti jika kita lalui dengan saling cakar, saling hujat, dan saling tumbuk.
Ada jalan indah yang menarik untuk kita pilih: jalan cinta kasih. Sedongkol apa pun, sejengkel apa pun, semarah apa pun, biarkan hati dan otak kita diruapi dan diurapi cinta kasih. Aku mencintaimu, tutur Sapardi pada sajak "Dalam Doaku", itu sebabnya aku tak pernah selesai mendoakan keselamatanmu.
Sungguh indah jika begitu model hidup yang kita lakoni hari ini. Selamat jalan Sapardi.
Putra sulung pasangan Sadyoko dan Sapariah itu telah menemukan Sang Mahacinta. Ia kini damai dalam dekap cinta-Nya. Yang fana adalah waktu. Ya, waktu yang berlalu jelas fana. Empat kata sederhana itu dipilih Sapardi selaku kepala sebuah sajak yang bertabur metafor mengenai apa sebenarnya yang kita cari dalam hidup singkat ini.
Guru yang rendah hati itu telah tiada. Hari ini, dalam doa seorang murid bengal, saya bacakan sebuah puisi. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, Pak Sapardi, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.Â
Selamat jalan, Pak Sapardi. Puisimu abadi. [kp]