Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Setelah Hujan Bulan Juni: Obituari Sapardi Djoko Damono

19 Juli 2020   12:32 Diperbarui: 22 Juli 2020   09:06 1723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pada satu acara di MIWF 2017 bersama Sapardi Djoko Damono (kiri) dan Ananda Sukarlan (tengah). Foto: Tribun Timur/Muh. Abdiwan

Sapardi Djoko Damono. Beliau pergi setelah hujan bulan Juni. Pergi selama-lamanya. Pergi tidak untuk kembali pada suatu hari nanti, tetapi puisi-puisi beliau tidak pernah pergi. Puisinya abadi. Sepanjang masa. Selamat jalan, Sapardi.

Guru yang rendah hati itu benar-benar pergi. Beliau mengembuskan napas terakhir hari ini, pukul 09.17 WIB, di sebuah rumah sakit di bilangan BSD setelah sebelumnya ditengarai fungsi organ beliau menurun.

Pada satu pertemuan di FIB Universitas Indonesia, beliau berkata kepada saya, "Tidak usah jauh-jauh mencari ilham. Tubuhmu adalah puisi." Sederhana. Namun, pesan itu terus mendekam dalam ingatan saya.

Pesan beliau menuntun mata kaki dan mata hati saya dalam pencarian kearifan dan kebijaksanaan. Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni. Begitu kata beliau. Mengapa hujan bulan Juni begitu arif? Sebab, dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu.

Memang tidak perlu jauh-jauh mencari kebahagiaan, sebab kebahagiaan itu ada di dalam diri kita sendiri. Kita biarkan saja akar ketabahan dalam diri kita menyerap segala hal, entah musibah entah anugerah, tanpa mempertanyakan kepada Tuhan mengapa mesti ada bencana dan kenapa bukan tawa bahagia saja sepanjang hidup.

Kini beliau telah menemukan dirinya yang abadi. Ada yang berdenyut dalam diriku, menembus tanah basah. Begitu ungkap beliau dalam sajak "Kuhentikan Hujan". Ia toleh hatinya. Ia tengok dadanya. Di situ ada sesuatu. Dendam yang dihamilkan hujan dan cahaya matahari. 

Kakak Soetjipto Djoko Sasono itu tidak sedang mengeluh. Ia tengah menyodorkan kitab tabah kepada kita. Kitab yang berisi tata cara menata dendam. Mestinya semarah apa pun kita tidak membiarkan dendam terus berdenyut di dalam dada, diasuh siang malam, dan beranak pinak hingga menjadi kesumat. Keluarkan dendam itu, lalu kita benamkan di bagian tanah yang terdalam.

Bagaimanakah kita hari ini mengelola dendam? Semua kita lampiaskan ke ruang publik. Ada yang menumpah-ruahkan kemarahannya di media sosial, ada yang menuang-luapkan bencinya di media massa. Semua orang akhirnya dapat dengan mudah mengenali orang lain dari takar dan kadar amarahnya, bukan dari jejak kiprah dan karyanya.

Bahkan ada pula orang yang menanam dendam di atas tanah cinta yang subur. Atas nama cinta pada seseorang atau sesuatu, seorang manusia bisa dengan mudah menebar caci maki. Tanpa saringan, tanpa berpikir panjang. Seolah-olah seluruh hidupnya akan dihabiskan semata-mata bersama kerak benci.

Mencintai angin harus menjadi siut, babar penggemar wayang yang semasa kecil sering menerima hadiah berupa wayang dari kakeknya. Dalam sajak "Aku Ingin", beliau hendak mengingatkan kita bagaimana semestinya mencintai. Ya, mencintai air harus menjadi ricik. Itu satu pelajaran berharga tentang lentur dan lembut atau baur dan lebur.

Beban kegelisahan dan kecemasan yang melatari kelahiran puisi-puisi Guru Besar FIB Universitas Indonesia itu malah tepat dikait-pautkan dengan kondisi hari ini. Hari ini, cinta kita pada satu pihak menyulut benci pada pihak seberang. Saat ini, cinta kita pada satu golongan melecut benci kita pada golongan sebelah.

Jiwa keindonesiaan kita terbelah. Ah, itu terlalu perih. Kita perhalus saja menjadi "jiwa keindonesiaan kita tengah retak". Retak di mana-mana. Kita semua sadar bahwa beragam itu niscaya, tetapi kita perlahan-lahan lupa bersatu sebagai Indonesia. Tidak ada yang paling Indonesia, sebagaimana tidak ada pula yang kurang Indonesia.

Persis seperti tilikan pujangga kelahiran Solo, 20 Maret 1940, dalam sajak "Hanya". Hanya desir angin yang kaurasa, dan tak pernah kalihat angin itu, tapi percaya angin itu ada di sekitarmu. Itulah sketsa muram Indonesia hari ini. Kita memang masih mengaku sebagai satu bangsa, walaupun terkotak-kotak dalam kungkungan "merasa paling".

Apakah sebenarnya yang mendasari klaim sepihak kita sehingga kita "merasa paling" dibanding orang atau golongan lain? Tengoklah ke kiri dan kanan. Banyak orang atau sekelompok orang yang selalu merasa paling NKRI, merasa paling beriman, merasa paling hebat, merasa paling itu, atau merasa paling ini.

Tidak. Kita bukanlah siapa-siapa. Dunia yang kita tempati sekarang ini tidak lebih dari  rumah singgah belaka. Kita bukan siapa-siapa. Hatiku selembar daun, melayang jatuh di rumput. Begitu amsal diri kita di mata Sapardi. Hanya selembar daun. Sekarang hijau dan indah, besok-besok menguning di tangkai, lalu melayang di udara, lalu membusuk di tanah.

Hidup sementara ini tidaklah elok jika kita sesaki dengan benci-membenci, caci mencaci, atau umpat-mengumpat. Hidup singkat ini tidaklah berarti jika kita lalui dengan saling cakar, saling hujat, dan saling tumbuk.

Ada jalan indah yang menarik untuk kita pilih: jalan cinta kasih. Sedongkol apa pun, sejengkel apa pun, semarah apa pun, biarkan hati dan otak kita diruapi dan diurapi cinta kasih. Aku mencintaimu, tutur Sapardi pada sajak "Dalam Doaku", itu sebabnya aku tak pernah selesai mendoakan keselamatanmu.

Sungguh indah jika begitu model hidup yang kita lakoni hari ini. Selamat jalan Sapardi.

Putra sulung pasangan Sadyoko dan Sapariah itu telah menemukan Sang Mahacinta. Ia kini damai dalam dekap cinta-Nya. Yang fana adalah waktu. Ya, waktu yang berlalu jelas fana. Empat kata sederhana itu dipilih Sapardi selaku kepala sebuah sajak yang bertabur metafor mengenai apa sebenarnya yang kita cari dalam hidup singkat ini.

Guru yang rendah hati itu telah tiada. Hari ini, dalam doa seorang murid bengal, saya bacakan sebuah puisi. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, Pak Sapardi, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. 

Selamat jalan, Pak Sapardi. Puisimu abadi. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun