Jadi, sungguh nahas jika mereka bersungguh-sungguh membela Pak Prabowo dan Pak Prabowo malah terlihat seperti pasrah menunggu nasib.
Adil Bukan Sekadar Retorika
Bagi kubu yang tidak setuju pada aksi alumni 212, mestinya santai-santai saja. Tidak usah mencak-mencak. Apalagi mengamuk atau marah-marah.
Begini. Apa pun nama aksi yang kembali akan digelar oleh PA 212, biarkan saja. Persoalan polisi tidak memberi izin karena ketidakjelasan rencana aksi, biarkan saja. Sebaiknya malah perlu membelek mata untuk melihat dari sisi berbeda. PA 212 sedang mempersiapkan pertunjukan kebenaran.
Pertama, mengawal Mahkamah Konstitusi. Itu tujuan mulia. Para Hakim MK mesti diberi ruang selapang-lapangnya untuk menyampaikan putusan PHPU dengan setenang-tenangnya. Kalau ada yang ribut dan ricuh, berarti mereka menelan ludah yang mereka percikkan sendiri.
Kedua, meminta para Hakim MK memutus perkara dengan seadil-adilnya. Itu seruan luhur. Para Hakim MK memang harus sekeras-kerasnya menilai proses sidang supaya menghasilkan putusan yang seadil-adilnya. Kalau bukti dan fakta dalam sidang mengharuskan para Hakim MK menolak gugatan, berarti itulah putusan yang adil.
Ketiga, mengimbau Pak Prabowo agar tidak menerima rekonsiliasi gara-gara tawaran kursi menteri. Itu imbauan yang agung. Pak Prabowo pasti paham untuk apa Pemilihan Umum dilaksanakan. Kalau semua partai otomatis dapat kursi dalam pemerintahan, sia-sialah pemilu dengan biaya triliunan dan menelan banyak korban. Biarlah Pak Prabowo dan partai koalisinya bertahan sebagai oposisi.
Dari ketiga alasan masuk akal di atas, terang bahwa PA 212 tengah memperjuangkan keadilan. Yang sekubu boleh mendukung sesuai keinginannya. Yang tidak sekubu bisa berdecak-decak sambil menggeleng-geleng. Sebab, PA 212 secara tersirat sedang memperjuangkan keadilan.
Jika gugatan diterima, itulah keadilan. Jika gugatan ditolak, itu juga keadilan. Sebagai pihak yang "tahu agama", PA 212 pasti mafhum.
Akhir Fantasi Menang
Semua orang punya fantasi, sama seperti setiap orang punya rasa takut. Pesta demokrasi yang baru kita jalani, yakni Pilpres 2019, adalah lahan subur bagi tumbuh kembang fantasi. Maka rimbunlah pohon fantasi kemenangan. Pohon fantasi kemenangan itu berbuah euforia.
Manakala buah euforia sudah mendekati matang, lahirlah ketakutan. Codot bisa sewaktu-waktu datang dan melahap buah itu. Codot punya nama lain, kelelawar di antaranya. Pesta kemenangan bisa pupus apabila pesta codot duluan berlangsung. Di sinilah perihnya karena besarnya peluang rasa takut tiba-tiba nongol.
Ketakutan menerima hasil yang bertolak belakang dengan kegagalan niscaya menghantui siapa saja yang ikut dalam kompetisi. Apa pun nama dan bentuknya. Apalagi ikut kontestasi pemilihan presiden yang mengeruk kerak harta dan fosil semangat. Dalam Inkdeath, Cornelia Funke menengarai bahwa ketakutan dapat membunuh segala-galanya. Ketakutan, kata Funke, dapat membunuh akal, hati, dan fantasi.