Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Fahri Hamzah, Kritik, dan Kompor Meleduk

9 Juni 2019   22:12 Diperbarui: 10 Juni 2019   07:43 2066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fahri Hamzah | Foto: Antara/Puspa Perwitasari

Begitulah paparan receh saya tentang kritik. Bagaimana dengan analisis abal-abal saya tentang ketimpangan narasi di dalam cuitan Pak Fahri? Jangan cemas. Sekalipun saya hanya pengamat recehan, modal saya bukan asbun.

Pertama, khilaf disangka kritik. Saya sudah kupas alasan saya di atas, tetapi biarkan saya sentil ulang. Kata khilaf tidak bisa dijadikan sandaran saat mengkritik. Khilaf itu lupa, kritik itu sadar. Sekali lagi, kritik merupakan hasil analisis. Ketika kita salah dalam mengkritik sesuatu berarti kita keliru. Jangan jadikan khilaf sebagai tameng. 

Kedua, polisi pilih kasih. Tafsir ini muncul dari kalimat penggalan cuitan Pak Fahri. "Sementara sebagian yang mendukung pemerintah tidak diproses." Ini boleh disebut kritik. Sebagai wakil rakyat yang digaji oleh rakyat, beliau pasti berbasis data. Saya sendiri mengkritik polisi atas laku pilih kasih ini. Akan tetapi, Pak Fahri masih Wakil Ketua DPR. Beliau punya hak meminta klarifikasi kepada pihak kepolisian. Parlemen berkantor di Senayan, bukan di Twitter.

Ketiga, saling intip. Tafsir ini dipantik oleh bagian akhir cuitan Pak Fahri. "Sebagian itu karena di media sosial ada yang saling intip." Ini agak kebablasan. Twitter, juga media sosial yang lain, adalah ranah publik. Instagram yang digembok saja masih dapat dilongok orang lain yang kita biarkan mengikuti akun kita.

Berikutnya, ada dua kata yang membuat saya tercenung. Saling lapor. Kedua kata ini seolah menyuruh saya mengambil cermin dan menaruhnya di depan Bung Fahri. Terkait lapor-melapor, ternyata beliau juga pernah melaporkan orang lain, malah teman separtai, saat bersengketa dengan petinggi partainya.

Dilansir Kompas.com, Pak Fahri pernah melaporkan petinggi PKS. Tuduhannya adalah pencemaran nama baik. Gugatannya pemulihan nama baik ditambah uang pengganti kerugian. Majelis Hakim akhirnya memenangkan Pak Fahri. Bahkan ada putusan pembayaran kerugian imateril sebesar Rp30 miliar.

Itu demi membela nama baik? Oke. Sip. Saya paham. Akan tetapi, tolong pahami juga bahwa saripati kritik saya adalah saling lapor. Letak tilikan saya adalah lapor-melapor terlepas dari apa pun pemicu perkaranya. 

Bung Fahri sosok yang cerdas dan cergas. Tentu saja saya berharap beliau lebih kritis saat mengkritik. Jangan sampai khilaf ditabalkan sebagai kritik. Selain itu, mengkritik orang lain atas sesuatu yang pernah dilakukan pengkritik dapat disebut wadul. 

Meminjam istilah Benyamin Sueb, kompor meleduk. Namun, saya percaya bahwa Bung Fahri bukanlah kompor meleduk. [khrisna]

Rujukan:

  1. Dan B. Curtis; James J. Floyd; Jerryl L. Winsor. 1996. Komunikasi Bisnis dan Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  2. Kompas.com. 3 Agustus 2018. Kisah Fahri Hamzah versus PKS, dari Pemecatan hingga Penolakan Kasasi. Diakses pada 9 Juni 2019, pukul 17:15 WIB. 
  3. Merriam-Webster. Definition of Critical. Diakses pada 9 Juni 2019, pukul 17:10 WIB. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun