Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Jangan Serampangan Menyingkat Nama Indonesia

25 Maret 2019   12:02 Diperbarui: 25 Maret 2019   14:55 4534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keberadaan pemantau pemilu dari dunia internasional bukanlah sesuatu yang baru. Itu lumrah dan wajar. Tidak perlu dibesar-besarkan atau dilaung-laungkan. Pemantau pemilu dari luar negeri akan datang sendiri dengan atau tanpa diundang.

Jadi, ketika salah satu kubu menyatakan akan mengundang pengamat pemilu dari luar negeri maka itu sah-sah saja. Kubu lawan tidak perlu merajuk apalagi mengamuk. Santai saja. Pemilu, apa pun nama dan bentuknya, hingga sekarang masih dapat disebut sebagai "pesta demokrasi".

Manakala kita menggelar hajatan, mengundang tamu untuk menghadiri gelar hajatan juga perkara yang lumrah. Biasa-biasa saja. Malahan, acapkali ada saja tamu tak diundang yang turut hadir mencicipi sajian makanan dan memberikan ucapan selamat.

Semasa remaja, saya sering melihat teman perantau yang rajin melihat-lihat gedung tempat pesta pernikahan atau khitanan digelar. Saya juga begitu. Tidak, saya tidak bermaksud menipu pelaku hajat. Saya justru mengamalkan imbauan "Mohon Doa Restu". Beda perkara apabila pelaksana hajat mencantumkan maklumat "Mohon Dua Ribu".

Jangan mendelik dulu, Sobat. Saya tidak bermaksud menyamakan antara pesta demokrasi dan pesta pernikahan. Saya juga tidak berniat menyederhanakan pesta demokrasi sampai-sampai membandingkannya dengan pesta pernikahan. Itu kiasan belaka.

Hanya saja, saya tidak sedang berhasrat membahas seluk-beluk keberadaan pemantau pemilu dari luar negeri tatkala pilpres berlangsung. Saya juga tidak sedang bergairah untuk mengudar pertikaian seberapa penting keberadaan pemantau tersebut.

Tentu saja, saya pun tidak akan menanggapi mengapa pihak yang selama ini gemar berkoar ihwal antiasing atau antiaseng mendadak gencar mengundang pihak asing. Biarlah pihak atau orang lain yang mengulas hal sedemikian.

Adapun yang ingin saya uraikan lewat artikel receh ini tiada lain tetaplah perkara kebahasaan. Beberapa hari lalu tersiar tagar #INAElectionObserverSOS di media sosial. Tidak hanya di Twitter, tagar tersebut juga merambah Facebook.

Inilah yang menggelisahkan batin saya.

Batin saya gelisah lantaran penggunaan singkatan INA untuk penyebutan Indonesia. Ya, saya paham prinsip konyol warganet yang mengagungkan "Mahabenar netizen dengan segala komentarnya". Akan tetapi, saya juga berharap semoga netizen mengizinkan batin saya untuk menderita gelisah.

Barangkali ada yang bertanya-tanya mengapa batin saya gelisah. Baiklah, saya akan mengudar sebab-musababnya.

Begini, Sobat. Dalam pergaulan internasional, kode negara atau singkatan untuk penyebutan nama negara tidak dapat dilakukan secara manasuka atau sekehendak hati. Ada aturan yang mengikat pengaturan kode negara yang berlaku secara internasional. Penyingkatannya pun demikian.

Mari kita ulas satu demi satu.

Pertama, penggunaan INA. Pada tagar tersebut tercantum INA sebagai singkatan untuk penyebutan Indonesia. Apakah itu tepat? Sebelum saya menyebutnya keliru alias salah kaprah, sebaiknya saya tuturkan dulu dari mana asal singkatan INA itu.

Dalam dunia olahraga, setiap nama negara punya singkatan. Termasuk Indonesia. IOC, penyelenggara Olimpiade, menggunakan INA sebagai sebutan bagi Indonesia. Semula FIFA dan AFC memakai IND, tetapi belakangan ikut memakai INA.

Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam urusan keolahragaan maka nama Indonesia disingkat menjadi INA. Tim Indonesia yang berlaga di cabang olahraga mana pun akan disingkat INA, bukan IDN atau IND. Apalagi IDR.

Selain itu, di kancah pergaulan internasional ada pula singkatan INA yang jauh dari Indonesia. Singkatan INA digunakan untuk menyebut Iraq News Agency. Dapat dibayangkan apabila ada pihak yang bertumpu pada standar penamaan internasional akan tersasar lari ke Irak alih-alih ke Indonesia.

Simpulan sederhananya, sebutan INA digunakan hanya dalam urusan keolahragaan.

Kedua, penggunaan IND. Dunia internasional mengenal International Standard Organization alias ISO, yakni institusi yang menetapkan standar penamaan dalam skala internasional. Jadi, kehebatan atau kecerdasan seseorang bukan garansi orang tersebut berhak menamai sebuah negara sesuka hatinya.

Nah, ISO punya banyak sekat dalam penamaan. Khusus untuk penamaan Indonesia, ISO 3166 menggunakan kode ID untuk kode alpha-2 bagi Indonesia dan IDN untuk kode alpha-3. Dari sini jelaslah bahwa IDN adalah singkatan bagi penyebutan Indonesia dalam urusan kenegaraan. Dalam hal ini, kenegaraan berarti hal-hal yang berkenaan dengan negara atau seluk-beluk negara.

Mengapa bukan INA? Sekali lagi, INA sudah lekat dengan kantor berita Irak. Kenapa bukan IND? Ini pertanyaan menarik, sekalipun jawabannya sederhana. IND merupakan kode alpha-3 yang digunakan untuk menyebut India. Jadi, dalam dunia internasional jelas bahwa IND adalah India. Begitu aturan mainnya.

PBB, sebagai lembaga persatuan bangsa-bangsa, menggunakan IDN untuk menyingkat nama Indonesia. Begitu pula dengan lembaga lain yang bertaraf internasional. Singkat kata, singkatan yang tepat bagi nama Indonesia dalam urusan kenegaraan ialah IDN. Bukan INA atau IDR. Apalagi IND.

Ketiga, penggunaan IDR. Dalam urusan keuangan, ISO menggunakan pengodean untuk Indonesia yang berbeda dengan urusan kenegaraan. Sekatnya bernama ISO 4217. Kode yang digunakan adalah IDR. Kode ini dipakai dalam urusan bisnis, perbankan, atau keuangan secara internasional.

Kalau mau lebih sederhana, IDR adalah singkatan bagi penyebutan nama mata uang Indonesia dalam kancah keuangan internasional. Singkatan IDR sendiri berasal dari kode alpha-2 Indonesia (ID) ditambah R dari inisial mata uang Indonesia (Rupiah).

Pendek kata, IDR merupakan singkatan dari Indonesian Rupiah. Jika tiga kata itu digunakan secara utuh dalam urusan mata uang atau keuangan, terlalu panjang. Itu sebabnya disingkat supaya lebih memudahkan.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa penggunaan ketiga penyebutan untuk Indonesia itu masing-masing ada aturan pemakaiannya. Dengan kata lain, tidak bisa dilakukan serampangan atau sembarangan. Harus sesuai aturan.

Bayangkan andai kata kita mematuhi aturan. Tidak usah jauh-jauh dalam skala internasional, cukup dalam urusan dekat saja. Sebagai contoh, salat bagi umat Islam ada aturannya. Tiga rakaat untuk Magrib dan dua rakaat untuk Subuh. Bayangkan jika kita membolak-balik aturan itu. Dua untuk Magrib dan tiga untuk Subuh. Hasilnya, salat kita tidak berterima. Sesederhana itu.

Apakah salat dapat disederajatkan dengan aturan penamaan negara? Bukan itu tujuan saya, Sobat. Sekali lagi, itu sekadar pembanding. Esensinya tetaplah bahwa segala aspek dalam hidup kita sehari-hari ada aturan mainnya.

Sebagai pembanding, dapat pula saya sodorkan singkatan UPG bagi bandar udara di Makassar, Sulawesi Selatan. Kode penerbangan itu tidak mungkin diubah sesuka hati oleh perusahaan travel lokal atau nasional menjadi MKS, sebab UPG merupakan kode bandara yang digunakan secara internasional.

Sekalipun Ujung Pandang telah diubah menjadi Makassar, bukan berarti kodenya bisa diganti begitu saja menjadi MKS. Pihak International Air Transport Association (IATA) tetap menggunakan UPG, jadi itulah standar internasional yang berlaku.

Jangankan diubah menjadi MKS, ICAO alias International Civil Aviation Organization malah menggunakan WAAA untuk menyebut bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Jauh panggang dari api, kan?

Maka dari itu, hati-hatilah menggunakan singkatan untuk menamai negara tercinta ini. Jika urusannya di luar keolahragaan dan keuangan, gunakanlah IDN. Bukan INA atau IDR. [khrisna]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun