Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Penulisan Dengan

23 Januari 2019   13:53 Diperbarui: 15 April 2021   18:08 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber vektor: kisspng.com [Dokpri]

Apakah penggunaan "sama" dalam contoh (1) berterima? Mari kita selisik: (2) Aku pergi serupa halnya dia; (3) Aku pergi setara dia. Baik contoh (2) maupun (3) sama-sama janggal. Serasa ada yang someng atau ganjil sewaktu kita membacanya. Bandingkan dengan kalimat ini: (4) Aku pergi dengan dia; atau (5) Aku pergi bersama dia.

Bilamana kata sama kita bubuhi awalan "ber-", kontan hasilnya berbeda. Hal ini terjadi karena bersama memiliki arti 'seiring dengan' atau 'berbareng'. Di sinilah pentingnya kita menuruti petuah alah bisa karena biasa. Ya, bisa atau racun memang dapat dikalahkan oleh kebiasaan.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Sekarang muncul pertanyaan. Apakah kegunaan "dengan"? Sebenarnya ini pertanyaan enteng bagi yang tahu dan berat bagi yang tidak tahu. Ada juga yang menganggap enteng hal sebegini, sebab baginya yang penting menulis dan gagasan tersampaikan dengan baik.

Padahal, tulisan yang apik dan ajek tidak akan lahir dari aktivitas sambalewa. 

Menulis memang bukan hanya mengurusi tetek-bengek kata baku dan takbaku, melainkan sekaligus memperhatikan rambu-rambu penulisan yang ada.

Jika kita ingin tulisan kita renyah dibaca, setidaknya kita harus paham kaidah ejaan. Apakah kita sudah bisa membedakan fungsi tanda titik (.) dan tanda koma (,)? Apakah kita sudah mengerti mengapa setelah tanda tanya (?) atau tanda seru (!) tidak boleh ada tanda titik (.)? 

Bagaimanapun, tulisan kita akan berbeda maknanya apabila kita salah menaruh tanda baca. Itu baru tanda baca. 

Tulisan yang gurih berasal dari penulis yang piawai memilih diksi dan kaya akan rasa kata, fasih meracik kalimat dan khatam tata makna, mahir meramu wacana dan cerdas secara gramatikal.

Percuma kita khatam kaidah ejaan apabila kita gagap dalam mengutarakan gagasan. Sia-sia kita kuasai kata baku dan takbaku selama kita pandir dalam mengalimatkan dan mengalamatkan makna. Tiada guna kita rajin menulis kalau wacana yang kita anggit tidak bisa dicerna oleh pembaca. Di sinilah pentingnya rasa kata, rasa baca, dan rasa makna.

Selain itu, penulis mesti menyadari bahwa mustahil pesan (baik yang dibunyikan lewat kalimat tersurat atau disembunyikan melalui kalimat tersirat) berterima di benak pembaca bilamana tanda baca saja awut-awutan. Sederhananya begitu. Salah memilih kata juga penting bagi kerenyahan dan kegurihan tulisan. Itulah pentingnya gudang kosakata penulis mesti disesaki dengan stok kata-kata.

Kita kembali pada persoalan dengan dan sama. Sepele. Receh. Namun, perkara semacam ini tidak bisa disepelekan dan diremehkan manakala kita ingin tulisan kita bernas dan bergizi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun