Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Mestinya Sembilan Kata Ini Masuk KBBI

16 Desember 2018   01:13 Diperbarui: 16 Desember 2018   15:58 3447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang sahabat saya di Twitter, @greenziezs, bertanya seperti ini, "Apakah bisa, demi estetika, seseorang menggunakan kata yang tidak ada di dalam KBBI dalam puisinya?"

Dengan lugas saya menjawab, "Tidak ada masalah. Dalam beberapa tulisan, juga puisi, saya memakai kata 'kulacino'. Tidak ada di KBBI. Artinya 'genangan air di permukaan bidang, seperti meja, yang terbentuk akibat gelas dingin atau berisi minuman dingin'."

Kulacino berasal dari bahasa Italia. Dari kata culaccino. Jika diserap ke dalam bahasa Indonesia maka penulisannya menjadi kulacino. Hal sama bisa diberlakukan pada kapucino untuk cappuccino.

Mengapa saya memakai kulacino? Alasan saya sepele: belum ada kata serupa untuk menggambarkan "genangan air di permukaan bidang" tadi. Apakah bahasa Indonesia kismin, maaf, miskin? O, tidak. KBBI sudah memuat 127.036 lema. Itu bukan jumlah yang sedikit. Namun, banyak bukan berarti sempurna. Dengan kata lain, masih ada celah dalam bahasa Indonesia sehingga peluang untuk terus menyerap kata dari "laut lepas bernama bahasa daerah" atau "rimba luas bernama bahasa asing" selalu terbuka.

Dampak jawilan sahabat di akun Twitter itulah yang memantik tulisan ini. Sore tadi, entah mengapa tiba-tiba saya merasa sangat lemas. Semacam lunglai tanpa sebab. Padahal, raga dan jiwa saya segar bugar. Tidak sakit apa-apa.

Kondisi lunglai tanpa sebab dalam bahasa Makassar kuno disebut benro. Dari sanalah ide tulisan ini muncul. Kebetulan saya ingin sejenak mengalihkan pikiran setelah lumayan penat akibat memikirkan tokoh-tokoh di dalam novel lama--selama beberapa tahun mengeram di laptop--yang sedang saya rampungkan. Semacam "mencicil tulisan yang tidak selesai-selesai karena disiplin rendah".

Lahirlah tulisan ini sebagai upaya urun saran untuk memperkaya bahasa Indonesia. Ada sembilan kata yang saya pilih dan tapis dari beberapa kamus bahasa Makassar, juga dari kerak-kerak ingatan yang saya simpan dalam bentuk repih-repih tulisan.

Kenapa cuma sembilan? Saya cuma punya waktu setengah jam untuk menulis artikel ini. Setelah itu, saya harus kembali bercengkerama dengan Muhammad Emir Makkarawa dan Andi Nayanika Marennu--dua tokoh utama dalam novel saya.

Pertama, banyang. Kata ini masuk kaum adjektiva, jadi bisa didahului lebih atau sangat. Artinya "rasa cemas karena takut tidak sanggup menghadapi kehilangan". Biasanya diikuti keringat dingin, debar jantung tak beraturan, sesak napas, atau pusing yang tidak jelas sebabnya. Siapa yang pernah mengalami perasaan semacam ini?

Dalam lontarak bilang, naskah tua yang ditulis dalam aksara dan bahasa Makassar, banyang mesti hati-hati dibaca agar sesuai  dengan konteks kalimat. Bukan apa-apa, penulisan kata ini serupa dengan bannyang dan banyak. Ketiga kata itu sama-sama menggunakan huruf /ba/ dan /nya/, tetapi beda pelafalan. Selain itu, beda pula maknanya. Bannyang berarti angin kencang, sedangkan banyak ialah angsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun