Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Istilah Asing yang Intim di Jemari Netizen

29 Juli 2018   17:44 Diperbarui: 30 Juli 2018   09:11 2078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: wallpaperswide.com

Salah satu buku favorit saya adalah 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing anggitan Alif Danya Munysi. Saya suka buku tersebut sebab isinya mendedah pelbagai serapan asing dalam bahasa kita.

Bagi saya, itu kabar gembira. Kata serapan justru memperkaya bahasa Indonesia. Meski begitu, tidak semua istilah asing serta-merta dilesakkan dan dilesapkan ke dalam bahasa Indonesia. Ada aturan mainnya, ada kaidahnya.

Apa lacur, kaidah atau aturan itu acapkali tidak berlaku bagi segelintir netizen. Istilah asing kerap dipakai begitu saja. Tidak sedikit netizen yang sangat antusias memakai istilah asing. Gadget dan phubbing contohnya.

Ada pula netizen yang setia menulis serapan istilah asing sesuai kata asalnya, padahal sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Legend, misalnya. Barangkali warganet lupa bahwa bahasa kita sudah punya kata 'legenda'.

Nah, sekarang saya ajak teman-teman menekuri istilah asing yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia.

 1. Netizen alias Warganet

Kata netizen dipungut dari bahasa Inggris. Di negeri asalnya, netizen merupakan singkatan dari internet dan citizen. Semula banyak yang menggunakan warganet sebagai padanan istilah netizen, termasuk saya. Warganet singkatan dari warga dan internet.

Setiap pengguna internet yang aktif berinteraksi di dunia maya, termasuk media sosial, dapat didaulat sebagai netizen atau warganet.

Ternyata penggunaan istilah netizen setanding dan setara dengan warganet. Belakangan malah diserap ke dalam bahasa Indonesia, jadi netizen tidak perlu dicetak miring lagi. Warganet juga tetap boleh dipakai. Keduanya sah dipakai. 

2. Hoax alias Hoaks 

Kata hoax diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi hoaks. Jika kalian menemukan isu atau fakta yang  diramu menjadi cerita bohong dan sengaja dipelintir sedemikian rupa atau dilebih-lebihkan untuk mengelabui, itulah hoaks.

Ada yang memproduksi hoaks karena iseng atau guyon belaka. Ada yang mengumbar hoaks demi mengolok-olok seseorang atau kelompok tertentu. Ada pula yang sarat muatan politis yang mengunakan hoaks untuk menghujat, menggugat, bahkan menjatuhkan.

Pada hoaks, semua menjadi berlebihan. Yang kecil dibesar-besarkan. Yang pendek dipanjang-panjangkan. Yang tidak ada diada-adakan. Persis nasib kabar burung: yang sejengkal jadi semeter. Celakanya, banyak netizen yang mudah termakan hoaks.

Netizen yang baik tentu tidak akan mudah percaya pada hoaks. Percaya saja sulit, apalagi ikut menyebarluaskan hoaks. Oh, tidak!

3. Viral

Dalam bahasa Inggris, kata viral merupakan singkatan dari virus virtual. Virus berarti penyakit, sedangkan virtual berarti tidak nyata. Setelah diserap ke dalam bahasa Indonesia, viral berarti (1) berkenaan dengan virus, dan (2) menyebar luas dengan cepat seperti virus.

Foto, gambar, video, atau artikel yang gencar disebarkan oleh warganet dapat disebut viral. Kalaupun sesuatu yang viral berisi konten "miring", netizen tidak usah ikut-ikutan miring. Cukup dicamkan bahwa tidak semua hal yang viral berisi konten positif.

Sebagai warganet, kita harus arif dan bijak dalam menyukai, mengomentari, atau memviralkan sesuatu. Penulisannya tegak saja, tidak usah dicetak miring, karena viral sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia.

4. Twit alias Cuit

Kalian pasti mudah menebak asal kata twit ini. Ya, kata ini dipenggal dari twitter, salah satu media sosial yang cukup digandrungi netizen di negara kita. Artinya sama seperti kicau atau cuit. Sebut saja celoteh singkat untuk menyampaikan gagasan atau pendapat di Twitter.

Apabila kalian menggunakan kata 'twit' di dalam tulisan, biarkan semua hurufnya berdiri tegak. Namun, hati-hatilah apabila ingin ngetwit. Pada tulisan formal atau resmi, sebaiknya kita gunakan mentwit. Huruf 't' pada kata 'twit' tidak diluluhkan sebab kata 'twit' diawali konsonan ganda 'tw'.

Sementara itu, menyampaikan ulang sebuah twit disebut retwit. Jadi bukan ritwit. Bahasa Indonesia tidak mengenal 'ri-', tetapi 're-' seperti pada kata reduplikasi, regenerasi, atau resolusi. Dengan demikian, kata yang tepat adalah meretwit.  

5. Meme

Pada mulanya, meme digunakan sebagai hiburan. Sekadar lucu-lucuan. Isinya cuplikan gambar dari acara televisi, film, foto, atau gambar-gambar buatan sendiri yang dimodifikasi dengan menambahkan kata-kata atau tulisan-tulisan untuk tujuan melucu dan menghibur.

Kemudian, netizen yang sangat kreatif  membuat meme dalam bentuk gambar atau video plesetan, humor, parodi, atau gambar lucu yang bertujuan menyindir, mengkritik, atau mengecam. Messi dan Ronaldo kalah di Piala Dunia 2018 langsung dijadikan meme.

Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia, jadi tidak perlu dimiringkan ketika ditulis. Biarlah meme tetap tegak supaya menghibur. Miring sedikit bisa memicu baper. Apalagi ada yang membuat meme atas dasar caper.

Sekarang kita sisir enam kata atau istilah asing yang harus tetap dicetak miring jika digunakan dalam tulisan. Kendatipun sah-sah saja digunakan, saya menyarankan kepada kalian untuk memakai padanan istilahnya.

Sumber: Twitter @BadanBahasa
Sumber: Twitter @BadanBahasa
1. Talk Show alias Gelar Wicara atau Tayang Bincang?

Stasiun televisi dan radio paling kerap menggunakan istilah talk show. Biasanya wicara digelar dalam sebuah panel dengan beberapa tokoh selaku narasumber dan dipandu oleh pembawa acara. Lambat laun, diskusi-diskusi ringan pun disebut talk show.

Istilah itu berasal dari bahasa Inggris. Sebenarnya kita punya padanannya, yakni tayang bincang atau gelar wicara. Rasa ejanya juga lebih pas dengan lidah Nusantara. Ketika tiba di kuping juga berasa lebih lembut dan lezat didengar.

Ajaibnya, para praktisi perbukuan pun kerap menggunakan istilah asing itu. Ketika sebuah buka baru dilansir atau diluncurkan, spanduk atau kain rentang berisi kata delapan huruf itu dicetak besar-besar. 

Tidak usah heran. Sebagian kecil praktisi perbukuan memang doyan memakai istilah asing. Coba saja cari buku tentang pengasuhan. Kalian pasti sulit menemukannya terpajang di toko buku, sebab yang banyak justru buku tentang parenting.

2. Giveaway alias Cendera Mata?

Istilah giveaway belakangan ini sangat gencar digunakan di media sosial. Lagi-lagi, praktisi perbukuan yang kerap menggunakannya. Kalaupun bukan penerbit atau penulis, setidaknya hadiah yang dibagikan berupa buku dan segala perank-perniknya.

Sebagian berdalih bahwa kata itu sudah ramah di mata. Sebagian sisanya beralasan karena memang tidak tahu padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia. Padahal, sebenarnya kita punya padanan untuk istilah itu. Cendera mata.

Apakah kata itu kurang atau tidak ramah di mata? Ah, tidak juga. Kecuali kalau yang membacanya sedang cedera mata. Barangkali gengsi kita meningkat tajam apabila memakai istilah giveaway.

Saya juga pernah memakainya. Bukan apa-apa. Ketika saya gunakan cendera mata malah banyak yang kurang paham. 

Akhirnya saya gunakanlah giveaway. Namun, kata itu saya taruh di belakang cendera mata dan diterungku di dalam tanda kurung.

Sumber: Twitter @BadanBahasa
Sumber: Twitter @BadanBahasa
3. Family Gathering atau Riung Keluarga?

Kaum pekerja, sebutlah karyawan atau buruh, sering mengikuti acara family gathering yang diselenggarakan oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengakrabkan anggota keluarga, komunitas, organisasi, atau instansi.

Foto-foto peserta riung keluarga pun bertebaran di media sosial. Rata-rata foto yang dipajang merupakan hasil jepretan sendiri atau swafoto. Saya sengaja tidak memakai kata selfie karena padanannya, swafoto, berasa lebih keren.

Semua yang berjajar di dalam foto memajang senyum semringah. Tampang mereka pun ceria-ceria. Itulah hakikat riung keluarga alias family gathering, yakni mengakrabkan, mendekatkan, atau mengintimkan.

Daripada mengakrabi istilah asing di negeri sendiri, bukankah lebih heroik jikalau kita mengintimi bahasa sendiri yang tidak kalah apik. Meskipun demikian, semuanya berpulang kepada penutur bahasa Indonesia. Dalam beragama saja tidak ada paksaan, apalagi dalam berbahasa Indonesia.

4. Posting atau Pajang?

Dalam sebuah perbincangan ringan menjelang acara Temu Akrab Grup WA Katahati di bilangan Cikini (Sabtu, 7/7/2018), seseorang bertanya kepada saya, "Apa yang Daeng posting hari ini di Instagram?" 

Kontan saya terperangah begitu kata posting menerobos gendang telinga. Bukan apa-apa. Kuping saya langsung gatal acapkali mendengar bahasa Indonesia dicampur aduk dengan istilah asing. Bagi yang sudah terbiasa mengobrol dengan saya pasti tahu kebiasaan buruk saya tersebut.

Setelah beberapa jenak terdiam, saya pun menguraikan dengan nada pelan dan tenang. Posting bukan kata baku. Belum diserap juga ke dalam bahasa Indonesia. Kata dasarnya post dan kita punya pos. Karena pos termasuk kata ekasuku maka bentuk pengimbuhanya menjadi mengeposkan.

Kita juga bisa memakai kata mengirimkan. Jika masih belum sreg, gunakan saja kata pajang. Kata ini termasuk verba atau kata kerja. Daripada memosting mending gunakan memajang. Walaupun arti pajang tidak serupa persis dengan posting, maknanya sudah tidak jauh.

Salah satu arti memajang dalam bahasa Indonesia adalah menempatkan sesuatu dengan rapi untuk dipamerkan. Arti itu tidak jauh-jauh amat dengan posting. Naga-naganya, netizen juga tidak terlalu asing dengan istilah pajang. Sederhana, bukan?

5. Bully atau Rundung?

Kata ini juga tergolong kata yang rajin mejeng di media sosial. Ada saja yang menggunakan kata itu di media sosial (sengaja saya ulang untuk memperjelas bahwa istilah yang baku adalah media sosial, bukan sosial media).

Sebenarnya kita punya padanan yang tepat untuk kata bully, yakni rundung dan risak. Dua kata ini cukup untuk menggantikan makna bully di dalam kalimat. Kasihan media daring yang gelagapan setiap menulis kata bully karena mesti dicetak miring.

Coba perhatikan kata "di-bully". Nasibnya nahas. Sudah dipisah dengan tanda hubung, dicetak miring pula. Hal sama berlaku pada "mem-bully". Daripada capai menyunting tulisan, lebih baik langsung memakai kata dirundung atau dirisak. Juga merundung atau merisak. 

Bagaimana dengan bullying? Gunakanlah perundungan atau perisakan.

6. Review alias Tinjauan?

Kata review belakangan gencar digunakan di media sosial. Pencandu buku beramai-ramai memakai istilah itu dan memenuhi linimasa Twitter dengan kabar tentang buku yang baru saja ia khatamkan. Mereka ulas buku tersebut dan dengan bangga menyatakan "ini review saya".

Para pemberi testimoni di Instagram malah lebih aktraktif. Dalam satu tinjauan produk, kata itu bisa muncul berkali-kali. Dinding Facebook pun sama. Para penghuninya demikian getol memakai kata tersebut seakan-akan tidak ada padanan dalam bahasa Indonesia.

Padahal kita punya padanan untuk istilah review, yakni tinjauan. Khusus buku, kita juga dapat memakai kata ulasan, tilikan, atau resensi. Nah, yang terkahir ini kerap dihindari semata-mata karena alasan sentimental: khawatir yang diresensi bukunya menjadi sensi kalau dikritik. Aha!

Bagaimana dengan preview? Tenang saja. Tidak usah panik. Kita sudah punya pratinjau.

Sumber: Twitter @BadanBahasa
Sumber: Twitter @BadanBahasa

Begitulah. Istilah asing berseliweran di gawai. Mungkin istilah itu intim bagi mata kita, namun belum tentu akrab dengan bahasa kita. Sekali-sekali kita peduli pada bahasa Indonesia. Kalau perlu selalu peduli. Dengan kata lain, mari kita mulai dari diri sendiri.

Kita punya gawai sebagai padanan gadjet. Kita punya mabuk gawai untuk menggusur phubbing. Password boleh kita abaikan sebab kita punya kata sandi. Kata taut atau pranala cocok buat kita pakai sebagai pengganti link.

Sebenarnya tidak susah. Kecuali kalau diam-diam kita merasa kurang intelek jika tidak memakai istilah asing, baik dalam tulisan maupun saat berkomunikasi secara lisan.

Salam takzim. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun