Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Empat Rumus Ajaib Membuka Cerita

31 Maret 2018   13:50 Diperbarui: 1 April 2018   11:42 4029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Perhatikan bagaimana frasa negeri antara itu menciptakan ruang pikir bagi pembaca, antara lelaki dan perempuan, lalu membayangkan kepedihan seorang calabai--yang dimetaforakan sebagai sarapan yang harus kamu santap saban hari. Beberapa orang tidak suka sarapan sehingga sarapan adalah siksaan baginya. Lebih berasa lagi karena harus dijalani saban hari.

Bagaimana cara menemukan kesegaran frasa dan metafora? Tidak sulit, kok. Asal kamu mau rajin membaca. Atau mencoba rajin mendengar, bukan pura-pura mendengar. Nah, gara-gara mengetik pura-pura mendengar terbetiklah telinga palsu di benakku. O ya, kata itu tidak muncul begitu saja, tetapi mencuat dari rekaman ingatan pada buku yang pernah kubaca. Judulnya Telinga Palsu. Isinya 100 tulisan pilihan yang pernah dimuat di rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar. 

***

Kini kita tiba pada rumus ajaib terakhir. Kamu belum mengantuk, bukan? Kalau belum, kita teruskan. Tuangkan sedikit bocoran dan tumpahkan emosi ke dalam pembuka ceritamu. Rumus ini gampang-gampang susah. Harus sering dilatih. Sulap tidak berlaku di sini, apalagi keajaiban yang mendadak tercurah dari langit. Keterampilan ini mesti terus-menerus diasah.

Coba kamu tilik taktik Yusi Avianto Pareanom membuka cerita Edelwiss Melayat ke Ciputat.[5]  

  

Minggu, 10-10-10. Beberapa orang memilih menikah atau melahirkan pada hari bertanggal biner itu. Aya ditemukan pada hari tersebut dengan tubuh terpotong sepuluh dalam empat kantong plastik hitam besar yang ditaruh di pembatas jalur di depan Pasar Ciputat, Tangerang Selatan. Selama tiga hari, kantong-kantong ini sempat dikelirukan sebagai sampah yang banyak bertumpuk di sana.

Lihatlah "muslihat" Yusi yang mengawali kisahnya dengan angka cantik--10-10-10. Lalu, perhatikan bagaimana angka "sepuluh" itu muncul lagi pada dengan tubuh terpotong sepuluh. Ini bukan sesuatu yang kebetulan, melainkan hasil perhitungan matang. 

Ada orang yang ditemukan mati, tubuhnya terpotong sepuluh, ditaruh dalam empat kantong, justru pada tanggal yang orang lain akan pilih untuk menikah atau melahirkan.

Bocoran cerita itu tidak langsung tumplek ditumpahkan, hanya dituangkan sedikit. Ini penting untuk menggelitik keingintahuan pembaca. Suasana mencekam pun dibumbui secuil informasi, tetapi amat akurat, tentang jalan di depan Pasar Ciputat yang selalu dihiasi tumpukan sampah. 

Ada curah emosi di sana, sebentuk kritik yang dikemas halus. Bocoran dan emosi itulah yang akan mencegah pembaca meninggalkan cerita kita. Tanpa itu, kemungkinan ditinggalkan dan ditanggalkan sangat besar. 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun