Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Semoga Dian Kita Terus Bernyala

18 Juni 2017   22:58 Diperbarui: 18 Juni 2017   23:30 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semoga Dian kita terus memancarkan terang yang berguna (Foto: republika.co.id)

Kalau aku tidak salah ingat, suatu hari di bulan Juli tahun 2014, saya membeli sebuah kacamata rabun jauh minus 4 dari Belu Optik di Atambua. Namun kaca mata itu hanya bertahan 6 bulan. Suatu kali, saat saya pulang sekolah, tanpa sadar kaca mata itu jatuh ke lantai dan tanpa saya sadari telah terinjak kaki saya. Tentu sudah pasti, kaca mata itu pecah dan hancur, tersisa gagangnya yang kemudian juga giliran gagang kosong itu menghilang entah ke mana.

Nilai yang saya petik dari kejadian ini ialah bahwa saya tak memiliki kemampuan menjaga kaca mata saya sendiri. Kegelisahan saya dalam bergumul dengan sekian banyak ide untuk saya ajar di kelas dan tulis di media online ikut menyebabkan tragedi pecahnya kaca mata kesayangan saya itu. Padahal untuk membeli kaca mata itu, saya harus menabung 3 bulan dari gaji saya.

Dengan aktivitas padat menulis dan mengajar, para pembaca mungkin tak pernah membayangkan betapa gelisahnya fisik dan spirit jiwa menggeluti berbagai ide-ide yang terkadang muncul dan pergi saat saya berada di jalan, di sekolah atau di rumah serta di mana saja. Kegelisahan seperti ini memang cukup membahayakan bukan saja fisik dan nyawa saya, namun lebih banyak benda-benda milik pribadi, termasuk kaca mata dan Handphone. Saya memang bukan termasuk tipe manusia ceroboh dalam hal menjaga harta milik saya sendiri, namun kegelisahan intelektual itu kurasa lebih penting dari benda-benda pribadi yang fana itu, yang tentu saja bisa saya beli kembali dengan bekerja.

Kuingat baik suatu peristiwa yang telah berlalu di tahun 2014. Saat kecepatan motor begitu tinggi, aku tak mampu mengendalikan rem dan stir, sementara 5 gerombolan kambing sudah teramat dekat dengan roda depan motor Revo. Satu-satunya jalan ialah menabrak hewan-hewan itu, salah satu hewan kambing itu akhirnya tergeletak di pinggir jalan, lalu mati. Sedangkan saya berjuang menahan stir motor agar tidak menabrak pagar pinggir jalan. Sekelompok anak muda menatapku dengan kuatir. Mereka tahu bahwa saya seorang guru dengan seragam Korpri di badanku. Mereka kira saya akan melarikan diri. Tidak. Saya memberhentikan motorku lalu berbalik ke belakang sementara orang-orang sekampung mengerumuni bangkai kambing itu.

Ketika mereka melihat aku, mereka tak berbuat apa-apa malahan mereka bersyukur bahwa aku bisa selamat dari kejadian itu. “Biarlah kambing mati namun manusia tidak boleh celaka”, begitulah kata anak-anak muda itu. Bukan main merasa leganya hati saya. Orang-orang ini terasa sangat luar biasa, mereka memafkan saya dan bilang itu kejadian di luar kontrol. Mereka amat bermurah hati. Saya merasa luar biasa. Mereka terlihat begitu pasrah atas kematian kambing itu, hanya mereka mengkuatirkan saya. Namun begitu mereka tahu saya selamat, mereka ucapkan terima kasih.

Itulah sebagian kecil rentetan demi rentetan kejadian menimpah saya di jalanan. Tak terhitung kejadian kecil terjatuh atau saling menabrak kendaraan bermotor. Kegelisahan bagi seorang penulis untuk sebuah ide dapat dialami di mana saja termasuk saat menyetir. Tetapi indahnya kalau kita berhasil menundukkan kegelisahan itu dengan tapa dan semedi dalam doa-doa pribadi, kegelisahan itu hilang, yang ada hanya kata-kata pasrah penuh iman di hadapan Tuhan.

Ketika kita sudah mencapai taraf yang tinggi dalam meraih nilai-nilai kehidupan, kita akan tiba pada satu titik yakni kita ingin membagi cinta kita bagi sesama yang membutuhkan bantuan secara nyata. Kita ingin menolong sesama yang menderita. Kita harus menyadari bahwa dari hari ke hari, kita harus berjuang untuk menaklukkan keegoan kita sendiri agar kita mampu menjadi orang beriman yang berjiwa sosial.

Kita harus membunuh keegoan kita sendiri dan terus menyadari bahwa sebenarnya uang yang kita gunakan banyak yang tidak terlalu penting untuk kebutuhan hidup kita, jika kita bandingkan banyak orang yang menderita dan cepat membutuhkan bantuan. Mereka ialah saudara/i kita sendiri yang menderita dan membutuhkan bantuan di panti-panti asuhan. Para penghuni panti asuhan dan penjara ialah Kristus sendiri. Kristus nampak di abad ini juga dalam diri orang-orang miskin di panti-panti asuhan dan penjara-penjara. Saat saya mengunjungi mereka untuk menyapa, menghibur dan memberikan mereka bantuan, saya telah berjumpa dengan Kristus yang menderita dan solider dengan nasib kaum miskin dan menderita.

Ternyata menjadi orang yang berjiwa sosial bukanlah perkara mudah. Kita sering sibuk memikirkan pelbagai keinginan kita saat kita menerima gaji. Apa-apa saja yang harus kita beli? Rupa-rupa barang kita hendak beli meskipun belum tentu semua barang itu kita butuhkan. Terbersit keinginan untuk menyumbang di panti asuhan dengan gaji yang saya miliki, meskipun sedikit.

Sampai pada suatu sore saya pergi mengunjungi panti asuhan dan menyerahkan bantuan. Saat saya keluar dari panti asuhan, saya merasakan betapa bahagianya hati saya. Saya merasa telah berhasil membunuh keinginan dan egoisme saya sendiri dengan gaji bulanan saya yang tak seberapa saya masih sempat menolong anak-anak cacat di panti asuhan. Dari panti asuhan itu saya langsung ke toko untuk memprint out aplikasi ILEP 2018 dari Flashdisk saya. Dalam hati saya berpikir, kalau saya punya banyak uang saya akan terus memberikan bantuan untuk panti-panti asuhan di manapun saya berada. Setelah itu saya sibuk dengan kursus bahasa Inggris sebelum saya mengambil ujian TOEFL secara online.

Sebagai pendidik, saya merasa sangat terharu bila saya saksikan ada banyak anak-anak sekolah saya yang sebenarnya memiliki otak yang mampu namun harus berhenti di tengah jalan karena kesulitan biaya uang sekolah. Mereka berasal dari keluarga-keluarga yang tidak mampu secara ekonomis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun